Olimpiade 2020 Tokyo secara resmi dibuka pada Jumat (23/7) malam di Stadion Nasional Tokyo, Olympics Stadium. Kaisar Jepang Naruhito meresmikan dimulainya pesta olahraga se-dunia yang digelar setiap empat tahun sekali itu.
"Saya menyatakan membuka Olimpiade Tokyo," kata Naruhito seperti dikutip AFP pada upacara pembukaan yang hanya dihadiri ratusan tamu undangan dan pejabat.
Olimpiade Tokyo yang semestinya berlangsung pada tahun 2020, harus mengalami penundaan selama setahun akibat pandemi COVID-19 yang melanda belahan dunia, termasuk Jepang sebagai tuan rumah.
Pelaksanaan Olimpiade kali ini pun tidak luput dari kekhawatiran yang sangat tinggi dari para pejabat dan rakyat "Negeri Sakura". Bahkan, dari beberapa kali jajak pendapat publik, penolakan rakyat Jepang terhadap gelaran Olimpiade Tokyo sangat dominan. Protes menolak Olimpiade terus berlangsung jelang acara pembukaan.
Alasan penolakan itu, apalagi kalau bukan ketakutan pejabat dan warga Jepang dengan munculnya penularan virus corona, seiring masuknya ribuan pendatang dari berbagai negara.
Kepala Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang, seperti dikutip Reuters, akhir bulan lalu mengatakan bahwa Kaisar Naruhito "sepertinya mengkhawatirkan" kemungkinan Olimpiade menjadi penyebab menyebarnya virus corona seperti ditakutkan banyak masyarakat.
Sementara kekhawatiran kaisar berusia 61 tahun itu dibingkai sebagai kesan pejabat daripada sesuatu yang dia ungkapkan secara eksplisit sehingga menimbulkan spekulasi bahwa dia mengkhawatirkan penyelenggaraan Olimpiade selama pandemi.
Terlepas dari semua itu, Piagam Olimpiade menetapkan Olimpiade dibuka oleh kepala negara tuan rumah yang berarti kehadiran Kaisar Naruhito diperlukan.
Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach telah bertemu dengan Kaisar Naruhito pada Kamis (22/7) dan meyakinkan bahwa penyelenggara melakukan yang terbaik untuk tindakan antisipasi penyebaran virus corona.
Bach, yang telah menghadapi protes sejak kedatangannya di Jepang, mengimbau agar masyarakat memberikan dukungan terhadap para atlet meskipun ada kekhawatiran akan lonjakan kasus baru seiring kedatangan tamu-tamu internasional di Negeri Sakura itu.
Ia "sangat menyadari skeptisisme" masyarakat mengenai penyelenggaraan Olimpiade 2020, yang telah ditunda setahun karena pandemi COVID-19, sehingga memengaruhi hasil survei yang rendah selama berbulan-bulan.
"Saya mengimbau masyarakat Jepang untuk menyambut para atlet di sini untuk kompetisi hidup mereka," kata Bach dikutip dari AFP, Sabtu.
Bach bersikeras Olimpiade Tokyo akan digelar dengan aman, dengan menyebut Olimpiade sebagai "acara olahraga paling ketat... di seluruh dunia."
Kekhawatiran munculnya kasus COVID-19 memang benar terjadi, menyusul ditemukannya sejumlah atlet, ofisial dan staf kontingen yang positif terinfeksi virus corona. Temuan kasus itu tidak hanya saat kedatangan di bandara, tapi juga di perkampungan atlet di Tokyo.
Panitia penyelenggara benar-benar menerapkan protokol kesehatan ekstraketat terhadap seluruh atlet, ofisial, staf IOC yang datang untuk kepentingan Olimpiade, termasuk juga jurnalis dan tamu undangan lainnya. Prokes sudah diberlakukan sebelum mereka berangkat ke Jepang, dengan standar tinggi yang ditentukan.
Fotografer Kantor Berita ANTARA Sigit Kurniawan yang mendapat penugasan meliput ajang olahraga ini merasakan bagaimana ketatnya prokes itu. Dia sudah harus menjalani masa karantina sepekan sebelum keberangkatan dan setiap hari wajib melakukan tes usap PCR di faskes yang sudah ditentukan panitia. Hal sama juga berlaku kepada para atlet dan ofisial.
Kendati sudah mengantongi hasil tes negatif COVID-19 setelah masa karantina di dalam negeri, belum menjamin mereka langsung lolos. Semua tamu wajib menjalani pemeriksaan kesehatan lagi di bandara kedatangan, Bandar Udara Internasional Tokyo Haneda.
"Karena datang dengan tujuan Olimpiade, saya harus menunggu sukarelawan Olimpiade yang menjemput hingga ke depan pintu pesawat. Dia yang mengarahkan saya untuk proses selanjutnya," kisah Sigid Kurniawan.
Sigit bercerita harus menyinggahi setidaknya lima pos pemeriksaan. Ada yang meminta dokumen seperti hasil tes usap PCR dari Indonesia, PVC dan 'activity plan' yang sudah disahkan. Di sela itu, ada juga gerai tes COVID-19 berbasis air liur (saliva).
Hasil tes muncul sekitar setengah jam. Kalau negatif, baru bisa melangkah ke konter selanjutnya. Lolos dari pemeriksaan di bandara bukan berarti semua urusan sudah selesai. Khusus untuk mereka yang berkaitan dengan Olimpiade 2020, tetap wajib menjalani masa karantina di hotel selama tiga hari, tidak 14 hari seperti turis biasa.
Namun, hari pertama isolasi dihitung dari satu hari setelah kedatangan di Jepang. Jadi, misalnya tiba pada Sabtu, karantina dilaksanakan pada Minggu hingga Selasa.
Mulai masa karantina hingga akhir Olimpiade 2020, pendatang tidak boleh berganti hotel. Ongkos menginap serta konsumsi ditanggung individu.
Pemeriksaan COVID-19 dilakukan setiap hari selama isolasi mulai hari pertama. Tenaga kesehatan datang setiap pukul 11.00 waktu setempat untuk mengambil sampel saliva yang diperiksa dengan metode PCR. Ini gratis sebagai bagian dari fasilitas Olimpiade 2020.
"Ketika karantina berakhir dan hasil tes negatif, kami baru bisa beraktivitas di luar tetapi itu hanya terbatas di hotel, pusat media (media center) dan arena Olimpiade 2020 Transportasi mesti menggunakan bus dari panitia. Sementara untuk tes COVID-19 tetap dilakukan secara rutin," ujar Sigid.
Dengan berbagai pengetatan tersebut, tidak menjamin bersih dari virus corona. Buktinya, beberapa temuan kasus positif juga tetap muncul di perkampungan atlet.
Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia yang kurang tiga bulan lagi akan menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) XX/2020 di Papua. Situasi yang dihadapi Indonesia, khususnya Papua selaku tuan rumah, sama dengan Jepang, yakni menggelar pesta olahraga di tengah pandemi COVID-19 yang belum mereda.
PON XX juga mengalami penundaan dari semestinya digelar pada tahun 2020 karena pandemi virus corona melanda Tanah Air. Saat ini, kasus COVID-19 di Indonesia sedang melonjak. Bahkan, dalam sebulan terakhir, jumlah kasus positif bertambah lebih dari satu juta (3.082.410 kasus) dan mengakibatkan sebagian besar rumah sakit kewalahan menerima pasien. Angka kematian akibat virus corona juga cukup tinggi.
Tidak sedikit sebenarnya kontingen daerah yang khawatir dengan lonjakan kasus ini, tetapi hingga kini belum ada satu pun yang menyuarakan penundaan atau pembatalan PON Papua. Beberapa atlet dan ofisial daerah yang menjalani persiapan PON juga tidak luput terpapar virus corona.
Kondisi dan situasi pandemi yang belum terkendali seperti saat ini sebenarnya tidak cukup ideal untuk menggelar ajang pesta olahraga yang melibatkan ribuan atlet dan ofisial dari 34 provinsi. Tantangan dan hambatan yang dihadapi panitia penyelenggara dan delegasi daerah sangat besar, terutama soal menjaga keselamatan atlet dan ofisial.
Bukan bermaksud meremehkan kesiapan tuan rumah dan pemerintah dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk dari gelaran PON 2020. Untuk meniru kesigapan panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo dalam mencegah terjadinya klaster COVID-19 bukan hal mudah dan jelas membutuhkan biaya sangat mahal, serta sumber daya bidang kesehatan yang tidak sedikit. Sementara kondisi sektor kesehatan nasional sedang menghadapi ujian berat selama lebih setahun terakhir.
Semoga sisa waktu kurang dari tiga bulan ini ada "keajaiban" kondisi pandemi di Tanah Air bisa terkendali sepenuhnya dan angka kasus menurun drastis. Dengan begitu, PON XX Papua yang sudah tertunda setahun bisa terselenggara dengan aman tanpa disertai kekhawatiran munculnya klaster baru. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Saya menyatakan membuka Olimpiade Tokyo," kata Naruhito seperti dikutip AFP pada upacara pembukaan yang hanya dihadiri ratusan tamu undangan dan pejabat.
Olimpiade Tokyo yang semestinya berlangsung pada tahun 2020, harus mengalami penundaan selama setahun akibat pandemi COVID-19 yang melanda belahan dunia, termasuk Jepang sebagai tuan rumah.
Pelaksanaan Olimpiade kali ini pun tidak luput dari kekhawatiran yang sangat tinggi dari para pejabat dan rakyat "Negeri Sakura". Bahkan, dari beberapa kali jajak pendapat publik, penolakan rakyat Jepang terhadap gelaran Olimpiade Tokyo sangat dominan. Protes menolak Olimpiade terus berlangsung jelang acara pembukaan.
Alasan penolakan itu, apalagi kalau bukan ketakutan pejabat dan warga Jepang dengan munculnya penularan virus corona, seiring masuknya ribuan pendatang dari berbagai negara.
Kepala Badan Rumah Tangga Kekaisaran Jepang, seperti dikutip Reuters, akhir bulan lalu mengatakan bahwa Kaisar Naruhito "sepertinya mengkhawatirkan" kemungkinan Olimpiade menjadi penyebab menyebarnya virus corona seperti ditakutkan banyak masyarakat.
Sementara kekhawatiran kaisar berusia 61 tahun itu dibingkai sebagai kesan pejabat daripada sesuatu yang dia ungkapkan secara eksplisit sehingga menimbulkan spekulasi bahwa dia mengkhawatirkan penyelenggaraan Olimpiade selama pandemi.
Terlepas dari semua itu, Piagam Olimpiade menetapkan Olimpiade dibuka oleh kepala negara tuan rumah yang berarti kehadiran Kaisar Naruhito diperlukan.
Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach telah bertemu dengan Kaisar Naruhito pada Kamis (22/7) dan meyakinkan bahwa penyelenggara melakukan yang terbaik untuk tindakan antisipasi penyebaran virus corona.
Bach, yang telah menghadapi protes sejak kedatangannya di Jepang, mengimbau agar masyarakat memberikan dukungan terhadap para atlet meskipun ada kekhawatiran akan lonjakan kasus baru seiring kedatangan tamu-tamu internasional di Negeri Sakura itu.
Ia "sangat menyadari skeptisisme" masyarakat mengenai penyelenggaraan Olimpiade 2020, yang telah ditunda setahun karena pandemi COVID-19, sehingga memengaruhi hasil survei yang rendah selama berbulan-bulan.
"Saya mengimbau masyarakat Jepang untuk menyambut para atlet di sini untuk kompetisi hidup mereka," kata Bach dikutip dari AFP, Sabtu.
Bach bersikeras Olimpiade Tokyo akan digelar dengan aman, dengan menyebut Olimpiade sebagai "acara olahraga paling ketat... di seluruh dunia."
Kekhawatiran munculnya kasus COVID-19 memang benar terjadi, menyusul ditemukannya sejumlah atlet, ofisial dan staf kontingen yang positif terinfeksi virus corona. Temuan kasus itu tidak hanya saat kedatangan di bandara, tapi juga di perkampungan atlet di Tokyo.
Panitia penyelenggara benar-benar menerapkan protokol kesehatan ekstraketat terhadap seluruh atlet, ofisial, staf IOC yang datang untuk kepentingan Olimpiade, termasuk juga jurnalis dan tamu undangan lainnya. Prokes sudah diberlakukan sebelum mereka berangkat ke Jepang, dengan standar tinggi yang ditentukan.
Fotografer Kantor Berita ANTARA Sigit Kurniawan yang mendapat penugasan meliput ajang olahraga ini merasakan bagaimana ketatnya prokes itu. Dia sudah harus menjalani masa karantina sepekan sebelum keberangkatan dan setiap hari wajib melakukan tes usap PCR di faskes yang sudah ditentukan panitia. Hal sama juga berlaku kepada para atlet dan ofisial.
Kendati sudah mengantongi hasil tes negatif COVID-19 setelah masa karantina di dalam negeri, belum menjamin mereka langsung lolos. Semua tamu wajib menjalani pemeriksaan kesehatan lagi di bandara kedatangan, Bandar Udara Internasional Tokyo Haneda.
"Karena datang dengan tujuan Olimpiade, saya harus menunggu sukarelawan Olimpiade yang menjemput hingga ke depan pintu pesawat. Dia yang mengarahkan saya untuk proses selanjutnya," kisah Sigid Kurniawan.
Sigit bercerita harus menyinggahi setidaknya lima pos pemeriksaan. Ada yang meminta dokumen seperti hasil tes usap PCR dari Indonesia, PVC dan 'activity plan' yang sudah disahkan. Di sela itu, ada juga gerai tes COVID-19 berbasis air liur (saliva).
Hasil tes muncul sekitar setengah jam. Kalau negatif, baru bisa melangkah ke konter selanjutnya. Lolos dari pemeriksaan di bandara bukan berarti semua urusan sudah selesai. Khusus untuk mereka yang berkaitan dengan Olimpiade 2020, tetap wajib menjalani masa karantina di hotel selama tiga hari, tidak 14 hari seperti turis biasa.
Namun, hari pertama isolasi dihitung dari satu hari setelah kedatangan di Jepang. Jadi, misalnya tiba pada Sabtu, karantina dilaksanakan pada Minggu hingga Selasa.
Mulai masa karantina hingga akhir Olimpiade 2020, pendatang tidak boleh berganti hotel. Ongkos menginap serta konsumsi ditanggung individu.
Pemeriksaan COVID-19 dilakukan setiap hari selama isolasi mulai hari pertama. Tenaga kesehatan datang setiap pukul 11.00 waktu setempat untuk mengambil sampel saliva yang diperiksa dengan metode PCR. Ini gratis sebagai bagian dari fasilitas Olimpiade 2020.
"Ketika karantina berakhir dan hasil tes negatif, kami baru bisa beraktivitas di luar tetapi itu hanya terbatas di hotel, pusat media (media center) dan arena Olimpiade 2020 Transportasi mesti menggunakan bus dari panitia. Sementara untuk tes COVID-19 tetap dilakukan secara rutin," ujar Sigid.
Dengan berbagai pengetatan tersebut, tidak menjamin bersih dari virus corona. Buktinya, beberapa temuan kasus positif juga tetap muncul di perkampungan atlet.
Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia yang kurang tiga bulan lagi akan menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) XX/2020 di Papua. Situasi yang dihadapi Indonesia, khususnya Papua selaku tuan rumah, sama dengan Jepang, yakni menggelar pesta olahraga di tengah pandemi COVID-19 yang belum mereda.
PON XX juga mengalami penundaan dari semestinya digelar pada tahun 2020 karena pandemi virus corona melanda Tanah Air. Saat ini, kasus COVID-19 di Indonesia sedang melonjak. Bahkan, dalam sebulan terakhir, jumlah kasus positif bertambah lebih dari satu juta (3.082.410 kasus) dan mengakibatkan sebagian besar rumah sakit kewalahan menerima pasien. Angka kematian akibat virus corona juga cukup tinggi.
Tidak sedikit sebenarnya kontingen daerah yang khawatir dengan lonjakan kasus ini, tetapi hingga kini belum ada satu pun yang menyuarakan penundaan atau pembatalan PON Papua. Beberapa atlet dan ofisial daerah yang menjalani persiapan PON juga tidak luput terpapar virus corona.
Kondisi dan situasi pandemi yang belum terkendali seperti saat ini sebenarnya tidak cukup ideal untuk menggelar ajang pesta olahraga yang melibatkan ribuan atlet dan ofisial dari 34 provinsi. Tantangan dan hambatan yang dihadapi panitia penyelenggara dan delegasi daerah sangat besar, terutama soal menjaga keselamatan atlet dan ofisial.
Bukan bermaksud meremehkan kesiapan tuan rumah dan pemerintah dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk dari gelaran PON 2020. Untuk meniru kesigapan panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo dalam mencegah terjadinya klaster COVID-19 bukan hal mudah dan jelas membutuhkan biaya sangat mahal, serta sumber daya bidang kesehatan yang tidak sedikit. Sementara kondisi sektor kesehatan nasional sedang menghadapi ujian berat selama lebih setahun terakhir.
Semoga sisa waktu kurang dari tiga bulan ini ada "keajaiban" kondisi pandemi di Tanah Air bisa terkendali sepenuhnya dan angka kasus menurun drastis. Dengan begitu, PON XX Papua yang sudah tertunda setahun bisa terselenggara dengan aman tanpa disertai kekhawatiran munculnya klaster baru. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021