Sepasang suami-istri di Kabupaten Anyue, Provinsi Sichuan, dikenai hukuman denda sebesar 718.080 yuan atau sekitar Rp1,5 miliar setelah memiliki anak ketujuh sehingga dituduh melanggar kebijakan dua anak di China.

Namun pasangan tersebut kesulitan membayar denda karena untuk menghidupi keluarga hanya tergantung dari sang suami bermarga Liu, demikian media lokal yang dipantau ANTARA dari Beijing, Minggu.

Liu memohon kepada pihak berwajib agar pembayaran denda tersebut bisa dilakukan dengan cara mengangsur, namun tetap saja tidak mampu.

Pasutri tersebut tinggal di daerah yang dikenal penduduknya memiliki anak lebih dari satu.

Pasutri itu memiliki anak pertama berjenis kelamin perempuan pada 1990. Lalu dalam sepuluh tahun berikutnya anaknya bertambah enam dan yang terakhir berjenis kelamin laki-laki lahir pada 2009.

Pihak berwajib lalu melakukan penyelidikan pada 2018 atas dugaan persalinan ilegal dan memutuskan pembebasan biaya jaminan sosial pada pasutri itu.

Otoritas kesehatan setempat lalu mengajukan permohonan ke pengadilan agar membatalkan putusan denda karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan saat ini ketika kebijakan dua anak tidak mampu mendongkrak angka kelahiran di negara berpenduduk terbanyak di dunia yang dalam beberapa tahun terakhir ekonominya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat itu.

Oleh sebab itu, warganet di China juga menilai hukuman denda terhadap pasutri tersebut bertentangan dengan perubahan struktur kependudukan di China.

Justru warganet menyarankan agar pasutri tersebut mendapatkan penghargaan bukan hukuman karena angka kelahiran baru di China menurun dalam beberapa dasawarsa.

Kongres Rakyat China (NPC) sebagai lembaga legislatif telah mengajukan usulan pencabutan kebijakan keluarga berencana.

Salah satunya diusulkan oleh Huang Xihua, anggota NPC dari Provinsi Guangdong karena melihat banyak daerah di China yang melonggarkan kebijakan tersebut. (*)

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020