Sebanyak 45 Puskesmas yang berada di Banyuwangi Jawa Timut, telah membuat 270 inovasi yang tersebar di seluruh wilayah kerja untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang berbeda-beda di setiap daerah.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Wiji Lestariono di Banyuwangi, Selasa malam, menjelaskan banyaknya inovasi tersebut dikarenakan permasalahan dan kendala dalam menangani kesehatan masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah kerja Puskesmas.

"Permasalahan yang dihadapi masing-masing tidak sama, sehingga bisa saja masalah yang ada di perkotaan berbeda dengan yang ada di Sempu. Di perkotaan aspek transportasi bukan  masalah dan tentu solusinya inovasinya berbeda-beda," kata Wiji Lestariono yang akrab disapa Rio.

Meski inovasi yang dihasilkan hingga 270 dari 45 Puskesmas, namun beberapa target yang ditetapkan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menekan angka stunting, menekan angka kematian ibu dan anak, meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat, penanganan orang dengan gangguan jiwa, pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, dan lainnya.

Rio mengatakan dari seluruh inovasi tersebut, Dinas Kesehatan mereplikasi beberapa inovasi yang memungkinkan dan cocok digunakan oleh seluruh Puskesmas dari berbagai wilayah berbeda.

Salah satu contohnya adalah Laskar Sakinah yaitu kader-kader kesehatan yang ditugaskan untuk mendampingi ibu hamil, khususnya ibu hamil berisiko tinggi, mulai dari kandungan nol bulan hingga selesai masa nifas.

Dari berbagai inovasi yang telah dilakukan, Kabupaten Banyuwangi mencatatkan statistik kondisi kesehatan masyarakat yang jauh dari angka nasional.

Ia mencontohkan, seperti angka kematian bayi di Banyuwangi sebesar 5,9 per 1.000 kelahiran hidup di mana angka nasional sebanyak 24 kematian per 1.000 kelahiran, angka kematian ibu 103 per 100 ribu kelahiran hidup di mana angka di Indonesia 305 dari 100 ribu.

Sedangkan untuk masalah stunting atau kekerdilan pada anak, prevalensi di Kabupaten Banyuwangi hanya 9,8 persen. Angka tersebut jauh di bawah angka stunting secara nasional yaitu 30,8 persen, dan bahkan sudah jauh melebihi angka toleransi maksimal yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu sebesar 20 persen. (*)

Pewarta: Aditya Ramadhan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019