Pengamat kemaritiman dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Raja Oloan Saut Gurning mengemukakan pelaksanaan tol laut perlu ada pengawasan antar-instansi, tidak cukup Kementerian Perhubungan, namun juga melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan BUMN pelaksana.

"Karena kita bicara menjaga amanah uang subsidi, jadi peran pemda sangat penting karena dalam pelaksanaan perlu rekomendasinya tentang jumlah slot dan jenis komoditas," kata Saut Gurning dalam keterangan tertulis yang diterima di Surabaya, Selasa.

Saut mengatakan, di lapangan, tidak ada seleksi komoditas, bahkan kadang komoditas beras justru dikalahkan oleh komoditas nonberas seperti elektronik, garmen dan lainnya. Padahal, pemda memiliki kewenangan untuk menentukan jenis komoditas yang menjadi prioritas tol laut.

Realisasi tol laut, kata dia, memang memberikan manfaat dengan semakin banyaknya kapal yang mengangkut barang, dari sekali menjadi dua atau tiga kali seminggu yang membuat ketersediaan barang terjamin di sejumlah wilayah Indonesia timur.

Tetapi, hanya segelintir orang yang menikmati manfaat itu. Karena tak ada transparansi dan pengawasan, rekomendasi dan slot kontainer tol laut diperjualbelikan. 

Perusahaan pemilik kapal ternyata juga menjadi EMKL (ekspedisi muatan kapal laut), sehingga jatahnya diberikan ke perusahaannya sendiri. Slot yang diperoleh juga tidak diberitahukan kepada pihak ekspedisi, sehingga ekspedisi membayar harga normal. 

"Akibatnya, program tol laut tidak mampu menurunkan harga komoditas di wilayah Indonesia timur. Harga sampai ke konsumen masih tetap, tidak ada penurunan. Yang sudah untung mendapatkan untung lebih besar, tetapi konsumen tidak dapat untung apa-apa," kata Saut.

Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DPW Jawa Timur Henky Pratoko mengatakan konsep tol laut yang sebenarnya bagus kini sudah tak sesuai tujuan awal. 

"Seperti tidak adanya transparansi pemilik kapal, berapa slot atau space (tempat) yang tersedia dan kapan closing time (waktu penutupan) yang ditetapkan. Harusnya ada center point yang bisa diakses oleh siapapun, mulai dari tempat yang tersedia berapa dan barang harus sudah tiba kapan," katanya.

Oleh karena itu, ia berharap para pemegang kebijakan tol laut duduk bersama untuk mencarikan solusi terbaik, termasuk perlunya membuat center point yang bisa diakses oleh siapapun.

Budi Alfian, salah satu pengguna tol laut di Surabaya, mengatakan selain tarif tol laut yang masih terbilang mahal, slot atau ruang kapal juga tak mudah didapat karena selalu sudah penuh saat pemesanan. Lalu, ada juga perbedaan tarif antara perusahaan pelayaran dengan perusahaan ekspedisi (EMKL). 

Misalnya, tarif dry countainer tujuan Agats dari Surabaya, perusahaan pelayaran menetapkan biaya Rp3.327.500, sedangkan perusahaan ekspedisi sebesar Rp15 juta.

Perbedaan mencolok juga terjadi antara tarif tol laut dengan tarif regular. Tarif resmi regular berkisar antara Rp7 juta hingga Rp8 juta, sedangkan tarif tol laut di rute sama, yang semestinya jauh lebih murah karena disubsidi, ternyata jauh lebih besar.

Staf ahli Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jatim Jamhadi juga sependapat perlunya semua pemangku kepentingan program tol laut bertemu untuk mengevaluasi pelaksanaannya. 

"Evaluasi ini juga ini untuk menguatkan kembali tujuan tol laut  dan mengefektifkan dana subsidi yang digelontorkan untuk tol laut," katanya.
 

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019