Banyuwangi (Antaranews Jatim) - Festival Imlek bagian dari kalender wisata Banyuwangi Festival di halaman Tempat Ibadah Tionghoa Indonesia (TITD) Hoo Tong Bio Banyuwangi, Selasa (19/2) malam berlangsung meriah dengan dihadiri ribuan orang dari komunitas Tionghoa serta lintas etnis lainnya.
"Perayaan imlek ini menjadi simbol persatuan bagi kami, rakyat Banyuwangi. Tidak hanya persatuan dengan kehadiran kita, tetapi juga kesatuan dalam kebudayaan kita," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas lewat keterangan tertulis di Banyuwnagi, Rabu.
Spirit persatuan itulah, lanjut dia, mendorong Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjadikan Imlek sebagai bagian dari Banyuwangi Festival.
Menurut Anas, tidak sekedar sebuah atraksi, namun ini adalah bagian dari cara untuk mengukuhkan ikatan persaudaraan dan kebudayaan.
"Meski warga Tionghoa di sini tidak sampai lima persen, namun kemeriahan yang dihadirkan sekaligus animo masyarakat yang hadir telah menegaskan persatuan dan toleransi yang tinggi yang telah dibangun oleh seluruh warga dan etnis di Banyuwangi," ucap Bupati Anas.
Dalam Festival Imlek kali ini, juga disuguhkan 10 ribu porsi lontong Cap Go Meh khas komunitas Tionghoa di nusantara, hal itu sebagai simbol akulturasi tradisi Tionghoa dengan masyarakat nusantara.
Ketua Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia Komisariat Daerah Jawa Timur, Leman Kristanto mengemukakan bahwa lontong Cap Go Meh adalah akulturasi antara tradisi Tionghoa dengan masyarakat Pantura, diawali di Cirebon, Tegal, Pekalongan dan Lasem lalu tersebar di seluruh komunitas Tionghoa di Nusantara.
"Tradisi lontong Cap Go Meh disajikan sebagai penutup dari rangkaian Imlek, yaitu pada tanggal 15 bulan pertama dalam kalender Tionghoa, "Cap Go" sendiri berarti lima belas, sedangkan "Meh" artinya malam," tuturnya.
Leman menambahkan, ini merupakan momen pertama orang Tionghoa melihat purnama dan hal ini diperingati untuk suatu harapan kehidupan yang akan terus terang sepanjang tahun.
Sekitar sepuluh ribu lontong yang disajikan tersebut dibagikan kepada masyarakat yang hadir, dan mereka menikmati kuliner yang tersaji secara gratis.
"Masyarakat Tionghoa meyakini, dengan menyantap lontong tersebut akan mendapat kebaikan di tahun yang baru ini, dan kami juga mengharapkan kebaikan untuk seluruh warga Banyuwangi," ujarnya.
Pada malam itu, ekspresi akulturasi pada Festival Imlek di Banyuwangi terlihat dari beragam kesenian yang ditampilkan, Barongsai yang menjadi tradisi Tionghoa tampil bersama dengan Barong Using khas Banyuwangi.
Begitu pula tabuhannya dan seperangkat gamelan beradu suara dengan tabuhan khas negeri tirai bambu itu.
Ribuan warga dan wisatawan memadati Kelenteng Hoo Tong Bio yang malam itu terlihat semarak, serta lampion-lampion dan ornamen-ornamen berwarna merah yang menjadi ciri khas perayaan Imlek dipasang di sepanjang jalan menuju TITD. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Perayaan imlek ini menjadi simbol persatuan bagi kami, rakyat Banyuwangi. Tidak hanya persatuan dengan kehadiran kita, tetapi juga kesatuan dalam kebudayaan kita," kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas lewat keterangan tertulis di Banyuwnagi, Rabu.
Spirit persatuan itulah, lanjut dia, mendorong Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjadikan Imlek sebagai bagian dari Banyuwangi Festival.
Menurut Anas, tidak sekedar sebuah atraksi, namun ini adalah bagian dari cara untuk mengukuhkan ikatan persaudaraan dan kebudayaan.
"Meski warga Tionghoa di sini tidak sampai lima persen, namun kemeriahan yang dihadirkan sekaligus animo masyarakat yang hadir telah menegaskan persatuan dan toleransi yang tinggi yang telah dibangun oleh seluruh warga dan etnis di Banyuwangi," ucap Bupati Anas.
Dalam Festival Imlek kali ini, juga disuguhkan 10 ribu porsi lontong Cap Go Meh khas komunitas Tionghoa di nusantara, hal itu sebagai simbol akulturasi tradisi Tionghoa dengan masyarakat nusantara.
Ketua Majelis Rohaniawan Tridharma Seluruh Indonesia Komisariat Daerah Jawa Timur, Leman Kristanto mengemukakan bahwa lontong Cap Go Meh adalah akulturasi antara tradisi Tionghoa dengan masyarakat Pantura, diawali di Cirebon, Tegal, Pekalongan dan Lasem lalu tersebar di seluruh komunitas Tionghoa di Nusantara.
"Tradisi lontong Cap Go Meh disajikan sebagai penutup dari rangkaian Imlek, yaitu pada tanggal 15 bulan pertama dalam kalender Tionghoa, "Cap Go" sendiri berarti lima belas, sedangkan "Meh" artinya malam," tuturnya.
Leman menambahkan, ini merupakan momen pertama orang Tionghoa melihat purnama dan hal ini diperingati untuk suatu harapan kehidupan yang akan terus terang sepanjang tahun.
Sekitar sepuluh ribu lontong yang disajikan tersebut dibagikan kepada masyarakat yang hadir, dan mereka menikmati kuliner yang tersaji secara gratis.
"Masyarakat Tionghoa meyakini, dengan menyantap lontong tersebut akan mendapat kebaikan di tahun yang baru ini, dan kami juga mengharapkan kebaikan untuk seluruh warga Banyuwangi," ujarnya.
Pada malam itu, ekspresi akulturasi pada Festival Imlek di Banyuwangi terlihat dari beragam kesenian yang ditampilkan, Barongsai yang menjadi tradisi Tionghoa tampil bersama dengan Barong Using khas Banyuwangi.
Begitu pula tabuhannya dan seperangkat gamelan beradu suara dengan tabuhan khas negeri tirai bambu itu.
Ribuan warga dan wisatawan memadati Kelenteng Hoo Tong Bio yang malam itu terlihat semarak, serta lampion-lampion dan ornamen-ornamen berwarna merah yang menjadi ciri khas perayaan Imlek dipasang di sepanjang jalan menuju TITD. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019