Malang (Antaranews Jatim) - Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Prof Muhadjir Effendi memberikan apresiasi para guru yang kritis dan memberikan masukan terkait dengan adanya bagian buku tema kelas V SD yang menyebutkan bahwa organisasi Nahdatul Ulama (NU) sebagai organisasi radikal.
"Saya mengapresiasi ada guru yang kritis menyampaikan kepada saya langsung tentang persoalan yang muncul ini. Mereka tahu persis bagaimana kondisi di lapangan. Karena itu saya respons, saya undang guru-guru yang kritis tersebut," kata Mendikbud Muhadjir Effendi di sela Sarasehan Kebangsaan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Malang, Kamis.
Selain memberikan apresiasi yang menyampaikan masukan-masukan terkait buku tema kelas V itu, Kemendikbud juga secepatnya menarik buku tersebut. Penarikan dilakukan lantaran buku itu menyebut Nahdlatul Ulama ( NU) sebagai organisasi radikal.
"Sudah ada kesepakatan untuk ditarik dan direvisi. Revisi itu bisa secepatnya. Dalam waktu dekat akan kita share hasil revisinya. Di web Kemendikbud ada soft copy. Guru-guru bisa mengambil bagian itu dari website Kemendikbud. Yang penting buku itu harus segera ditarik," tuturnya.
Muhadjir mengatakan buku tersebut diterbitkan atau diproduksi berdasarkan Peraturan Menteri nomor 57 tahun 2014 sebagai bentuk implementasi dari kurikulum 2013. Kemudian direvisi dengan peraturan Menteri Pendidikan nomor 34 tahun 2016. "Jadi sebelum saya menjadi menteri," katanya.
Muhadjir mengaku selama dirinya menjadi menteri belum pernah merevisi buku, kecuali penambahan melalui peraturan menteri nomor 24 tahun 2018. Desember lalu melakukan penambahan untuk mata pelajaran informatika.
"Jadi saya belum pernah melakukan revisi, artinya buku itu sebelum saya jadi menteri sudah ada," ucapnya.
Menurut Muhadjir, konteks kata radikal dalam buku tersebut sebetulnya adalah sejarah tentang perjuangan kemerdekaan nasional tahun 1920-an. Saat itu berdiri organisasi-organisasi yang oleh tim penulis dicirikan memiliki watak nonkooperatif atau tidak mau berkompromi dengan pemerintah kolonial Belanda.
"Nah itu lah yang kemudian dikategorikan sebagai organisasi radikal. Jadi, sebetulnya kata radikal itu dalam konteks melawan penjajah kolonial. Dan, ketika buku itu disusun kata radikal belum menjadi kata pejoratif, namun sekarang kata radikal menjadi sensitif," papar Mendikbud.
Kalau menurut ilmu bahasa, lanjut Muhadjir, kata radikal dalam konteks dalam buku itu termasuk kata amelioratif yang punya rasa baik. Sekarang ini menjadi negatif dan ketika diajarkan kepada anak-anak bisa keluar konteks, bahkan bisa sebaliknya.
Untuk itu, kata Muhadjir, ia mengapresiasi para guru yang telah memberikan masukan dengan kritis. "Para guru ini kan lebih tahu dan lebih paham dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu, saya berikan apresiasi," ujarnya.
Berikut ini teks isi buku tersebut: Masa Awal Radikal (Tahun 1920-1927-an). Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada abad ke-20 disebut masa radikal karena pergerakan-pergerakan nasional pada masa ini bersifat radikal/keras terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Mereka menggunakan asas nonkooperatif/tidak mau bekerja sama. Organisasi-organisasi yang bersifat radikal adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI).*
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Saya mengapresiasi ada guru yang kritis menyampaikan kepada saya langsung tentang persoalan yang muncul ini. Mereka tahu persis bagaimana kondisi di lapangan. Karena itu saya respons, saya undang guru-guru yang kritis tersebut," kata Mendikbud Muhadjir Effendi di sela Sarasehan Kebangsaan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Malang, Kamis.
Selain memberikan apresiasi yang menyampaikan masukan-masukan terkait buku tema kelas V itu, Kemendikbud juga secepatnya menarik buku tersebut. Penarikan dilakukan lantaran buku itu menyebut Nahdlatul Ulama ( NU) sebagai organisasi radikal.
"Sudah ada kesepakatan untuk ditarik dan direvisi. Revisi itu bisa secepatnya. Dalam waktu dekat akan kita share hasil revisinya. Di web Kemendikbud ada soft copy. Guru-guru bisa mengambil bagian itu dari website Kemendikbud. Yang penting buku itu harus segera ditarik," tuturnya.
Muhadjir mengatakan buku tersebut diterbitkan atau diproduksi berdasarkan Peraturan Menteri nomor 57 tahun 2014 sebagai bentuk implementasi dari kurikulum 2013. Kemudian direvisi dengan peraturan Menteri Pendidikan nomor 34 tahun 2016. "Jadi sebelum saya menjadi menteri," katanya.
Muhadjir mengaku selama dirinya menjadi menteri belum pernah merevisi buku, kecuali penambahan melalui peraturan menteri nomor 24 tahun 2018. Desember lalu melakukan penambahan untuk mata pelajaran informatika.
"Jadi saya belum pernah melakukan revisi, artinya buku itu sebelum saya jadi menteri sudah ada," ucapnya.
Menurut Muhadjir, konteks kata radikal dalam buku tersebut sebetulnya adalah sejarah tentang perjuangan kemerdekaan nasional tahun 1920-an. Saat itu berdiri organisasi-organisasi yang oleh tim penulis dicirikan memiliki watak nonkooperatif atau tidak mau berkompromi dengan pemerintah kolonial Belanda.
"Nah itu lah yang kemudian dikategorikan sebagai organisasi radikal. Jadi, sebetulnya kata radikal itu dalam konteks melawan penjajah kolonial. Dan, ketika buku itu disusun kata radikal belum menjadi kata pejoratif, namun sekarang kata radikal menjadi sensitif," papar Mendikbud.
Kalau menurut ilmu bahasa, lanjut Muhadjir, kata radikal dalam konteks dalam buku itu termasuk kata amelioratif yang punya rasa baik. Sekarang ini menjadi negatif dan ketika diajarkan kepada anak-anak bisa keluar konteks, bahkan bisa sebaliknya.
Untuk itu, kata Muhadjir, ia mengapresiasi para guru yang telah memberikan masukan dengan kritis. "Para guru ini kan lebih tahu dan lebih paham dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu, saya berikan apresiasi," ujarnya.
Berikut ini teks isi buku tersebut: Masa Awal Radikal (Tahun 1920-1927-an). Perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada abad ke-20 disebut masa radikal karena pergerakan-pergerakan nasional pada masa ini bersifat radikal/keras terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Mereka menggunakan asas nonkooperatif/tidak mau bekerja sama. Organisasi-organisasi yang bersifat radikal adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI).*
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019