Surabaya (Antaranews Jatim) - Pakar komunikasi politik asal Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo menyebut pada Pemilihan Umum 2019 akan dipenuhi perang informasi karena meningkatnya pemanfaatan perangkat media teknologi komunikasi.

“Teknologi komunikasi menyajikan begitu banyaknya informasi memikat,meski keakuratannya belum terbuktikan,” ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Jumat.

Menurut Sukowi, sapaan akrabnya, pemilih akan sulit membedakan mana informasi benar dan mana yang salah, khususnya terkait maraknya berita bohong atau hoaks.

Banyaknya berita hoaks dan tidak tersedianya informasi akurat yang memikat pemilih, kata dia, akan mengakibatkan partisipasi memilih legislatif 2019 cenderung menurun.

Karena itu, dosen Fisip Unair tersebut menyarankan politikus memanfaatkan media arus utama, baik media konvensional mapun media baru, termasuk bisa bersinergi untuk melakukan komunikasi politik maupun politik pemasarannya.

“Kunci kememangan terletak pada kecerdasan kandidat dalam mengelola komunikasi dan mengelola relasi atau hubungan dengan pemilih,” ucap akademisi yang pernah menjabat sebagai “Penasihat Spiritual Presiden” Republik Mimpi pada acara program televisi swasta nasional beberapa tahun lalu tersebut.

Sementara itu, bakal terjadinya perang informasi tersebut merupakan hasil fokus grup diskusi “Kaukus Politik Cerdas Bermartabat” yang melibatkan sejumlah ahli sosial, ekonomi, komunikasi dan politik di Jatim.

Diskusi tersebut dikakukan mencermati polarisasi Pemilihan Presiden 2019 yang tidak bersering dilakukan bersamaan dengan Pilkada serentak sehingga berdampak pada kekacauan peta politik di hampir semua daerah di Tanah Air.

Pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura, Mochtar W Oetomo, juga mencatat pemilih belum siap dengan polarisasi yang berbeda dengan sikap memilih di Pilkada serentak.

“Terjadi kekacauan peta politik disebabkan oleh kompleksitas pemilih dalam mencoblos karena dihadapkan banyaknya jenis pilihan (Pilpres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota),” katanya.

Selain itu, lanjut dia, juga disebabkan persepsi sebagai akibat maraknya kasus korupsi yang menimpa anggota dewan, khususnya kasus terakhir di DPRD Kota Malang.

“Kondisi tersebut mengakibatkan disorientasi pemilih yang pada gilirannya para pemilih tidak memiliki pilihan pasti,” katanya.

Karena itulah dalam konteks “political disruption” seperti ini maka diperlukan strategi pemenangan berbasis data dan kandidat tidak boleh berpolitik dengan insting, apalagi hanya mengandalkan laporan “asal bapak senang” dari tim sukses.

“Akibat kekacauan peta kekuatan politik ini juga maka uang tidak cukup bisa diandalkan untuk membeli suara,” kata Direktur lembaga survei Surabaya Survey Centre (SSC) tersebut. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018