Zaman dulu ketika bulan puasa (Ramadhan) tiba banyak bertebaran spanduk yang berbunyi, "Hormatilah orang yang berpuasa".
Dalam perjalanan waktu, kesadaran kaum Muslim dalam menjalankan ibadah selama sebulan penuh itu muncul. Mereka mulai menyadari bahwa imbauan agar orang lain menghormati orang yang berpuasa terasa janggal dan lucu.
Bukankah puasa itu diperuntukkan bagi pengamalnya agar menjadi orang bertakwa? Puasa mengajarkan orang Muslim untuk mampu menahan diri dan bersabar. Dalam bulan puasa, apa-apa yang semestinya halal dilakukan, justru dilarang, khususnya di siang hari, seperti makan dan minum, berhubungan badan suami istri dan lainnya.
Larangan atas semua yang halal pada hari-hari di luar Ramadhan itu mengajarkan umat Islam untuk menahan diri sejenak sesuai waktu yang ditentukan syarak, yakni mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam proses menahan diri itu juga terkandung makna sabar, yakni sabar sampai menunggu terbenamnya matahari alias masuk waktu maghrib.
Karena itulah Umat Islam kemudian melakukan introspeksi bahwa ajakan agar orang menghormati dirinya yang sedang berpuasa justru terbalik. Justru kita yang berpuasa dan sedang berada dalam "alam pendidikan spiritual", menghormati mereka yang sedang tidak berpuasa.
Bentuk penghormatan itu adalah, kita tidak memandang remeh mereka yang tidak berpuasa, apalagi mereka itu bukan beragama Islam yang memang secara syariat tidak dikenai hukum untuk melakukan puasa, termasuk kepada Muslim yang lain yang mungkin sedang berhalangan. Puasa kita jangan justru membawa kita pada kesombongan atas Muslim lainnya, termasuk merasa diri lebih beriman dan lainnya.
Bentuk lainnya adalah, kita harus melakukan sesuatu, khususnya dalam menebarkan nilai-nilai Islam, dengan penuh kesabaran dan menghormati hak-hak hidup umat lain, sehingga Islam betul-betul mewujud di masyarakat yang plural sebagai rahmat bagi semua alam.
Hal ini termasuk bagaimana umat Islam menyikapi adanya warung makan yang buka di siang hari selama bulan Ramadhan. Bukannya kita ma;lah mengobrak abrik warung dan kemudian mengancam pemilik warung jika tetap buka di siang hari. Sebaiknya hal itu kita lakukan dengan cara santun atau serahkan kepada ulil amri (pemerintah) yang memang bertugas mengatur masalah-masalah tersebut.
Keberadaan warung-warung itu tidak akan mengganggu orang berpuasa, karena keberadaan mereka justru membantu orang Islam yang sedang berhalangan untuk berpuasa, seperti kaum musafir (sedang dalam perjalanan jauh) yang mendapat keringanan secara syariat untuk tidak berpuasa dan berkewajiban mengganti di hari di luar puasa. Atau mereka menyediakan makanan bagi umat non-muslim yang tidak berpuasa. Sangat tidak mungkin keberadaan warung itu mengundang orang yang berpuasa untuk makan.
Jadi, mari kita hormati juga orang yang tidak berpuasa. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Dalam perjalanan waktu, kesadaran kaum Muslim dalam menjalankan ibadah selama sebulan penuh itu muncul. Mereka mulai menyadari bahwa imbauan agar orang lain menghormati orang yang berpuasa terasa janggal dan lucu.
Bukankah puasa itu diperuntukkan bagi pengamalnya agar menjadi orang bertakwa? Puasa mengajarkan orang Muslim untuk mampu menahan diri dan bersabar. Dalam bulan puasa, apa-apa yang semestinya halal dilakukan, justru dilarang, khususnya di siang hari, seperti makan dan minum, berhubungan badan suami istri dan lainnya.
Larangan atas semua yang halal pada hari-hari di luar Ramadhan itu mengajarkan umat Islam untuk menahan diri sejenak sesuai waktu yang ditentukan syarak, yakni mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam proses menahan diri itu juga terkandung makna sabar, yakni sabar sampai menunggu terbenamnya matahari alias masuk waktu maghrib.
Karena itulah Umat Islam kemudian melakukan introspeksi bahwa ajakan agar orang menghormati dirinya yang sedang berpuasa justru terbalik. Justru kita yang berpuasa dan sedang berada dalam "alam pendidikan spiritual", menghormati mereka yang sedang tidak berpuasa.
Bentuk penghormatan itu adalah, kita tidak memandang remeh mereka yang tidak berpuasa, apalagi mereka itu bukan beragama Islam yang memang secara syariat tidak dikenai hukum untuk melakukan puasa, termasuk kepada Muslim yang lain yang mungkin sedang berhalangan. Puasa kita jangan justru membawa kita pada kesombongan atas Muslim lainnya, termasuk merasa diri lebih beriman dan lainnya.
Bentuk lainnya adalah, kita harus melakukan sesuatu, khususnya dalam menebarkan nilai-nilai Islam, dengan penuh kesabaran dan menghormati hak-hak hidup umat lain, sehingga Islam betul-betul mewujud di masyarakat yang plural sebagai rahmat bagi semua alam.
Hal ini termasuk bagaimana umat Islam menyikapi adanya warung makan yang buka di siang hari selama bulan Ramadhan. Bukannya kita ma;lah mengobrak abrik warung dan kemudian mengancam pemilik warung jika tetap buka di siang hari. Sebaiknya hal itu kita lakukan dengan cara santun atau serahkan kepada ulil amri (pemerintah) yang memang bertugas mengatur masalah-masalah tersebut.
Keberadaan warung-warung itu tidak akan mengganggu orang berpuasa, karena keberadaan mereka justru membantu orang Islam yang sedang berhalangan untuk berpuasa, seperti kaum musafir (sedang dalam perjalanan jauh) yang mendapat keringanan secara syariat untuk tidak berpuasa dan berkewajiban mengganti di hari di luar puasa. Atau mereka menyediakan makanan bagi umat non-muslim yang tidak berpuasa. Sangat tidak mungkin keberadaan warung itu mengundang orang yang berpuasa untuk makan.
Jadi, mari kita hormati juga orang yang tidak berpuasa. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018