Surabaya (Antaranews Jatim) - Pemerintah Kota Surabaya menjelaskan alasan menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB) karena dipengaruhi banyak faktor di antaranya perkembangan, pertumbuhan, dan investasi, serta transaksi jual beli di Kota Pahlawan semakin naik.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Surabaya Yusron Sumartono, di Surabaya, Rabu, mengatakan Pemkot Surabaya sudah membangun berbagai macam infrastruktur seperti saluran dan jalan-jalan.

"Pengembang juga banyak yang membuka perumahan-perumahan di berbagai wilayah di Kota Surabaya. Hal ini lah yang menimbulkan nilai jual rumah, tanah dan bangunan bergerak naik terus setiap tahunnya," katanya.

Menurut dia, karena nilai jual rumah, tanah dan bangunan naik, maka nilai jual objek pajak (NJOP) permeternya juga naik. Di dalam NJOP itu, ada level-level atau kelas-kelasnya, dan setiap level itu berbeda-beda besaran nilai jualnya.

Hal itu, lanjut dia, sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 73 Tahun 2010 tentang klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB di Kota Surabaya.

"Tentunya, NJOP nya itu dihitung dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kawasan itu, sehingga apabila kawasan itu semakin tumbuh dan berkembang, maka objek pajak akan naik level dan otomatis nilai besaran NJOP-nya juga semakin naik," kata dia.

Setelah itu, lanjut dia, ada yang namanya tarif PBB. Sesuai Perda no 10 tahun 2010, tarif PBB ada dua macam, yaitu 0,1 persen khusus untuk NJOP yang nilainya kurang dari Rp1 miliar dan 0,2 perses khusus untuk NJOP yang nilainya lebih dari Rp1 miliar.

"Sedangkan nilai PBB itu berasal dari NJOP dikalikan dengan tarif PBB yang sudah ditetapkan di dalam Perda. Jadi, karena NJOP-nya naik, tentu berpengaruh pada nilai PBB yang akan naik pula," katanya.

Ia mencontohkan jika nilai total NJOP-nya sebesar Rp900 juta, maka nilai ini dikalikan dengan tarif PBB, yaitu 0,1 persen, dan hasilnya Rp 900 ribu. Namun, karena kawasan di objek pajak itu semakin tumbuh dan berkembang, maka NJOP nya juga naik level hingga mencapai Rp1 miliar, sehingga tarif PBB nya kena 0,2 persen.

"Jika dikalikan, hasilnya Rp2 juta. Di sini, ada kenaikan yang signifikan hingga Rp1,1 juta, karena memang objek pajak itu sudah masuk ke tarif PBB 0,2 persen," kata dia.

Yusron menduga kenaikan dua kali lipat itulah yang menyebabkan banyak masyarakat mengeluh terhadap nilai PBB yang harus dibayarkan. Padahal, lanjut dia, selama ini penetapan nilai PBB sudah di bawah harga pasar. Tertbukti, jika dilihat di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), tidak sama dengan harga pasaran.

"Hal inilah yang perlu dipahami oleh semua pihak. Apalagi, tarif PBB 0,1 persen dan 0,2 persen itu sudah diterapkan sejak tahun 2010 atau sejak Perda itu dikedok," ujarnya.

Oleh karena itu, Yusron memastikan tidak serta merta menaikkan nilai PBB, namun hal itu dipengaruhi oleh perkembangan, pertumbuhan dan transaksi di Surabaya yang semakin naik.

Bahkan, ia memastikan bahwa semua yang dilakukannya sudah sesuai peraturan yang ada. "Semua yang kami kerjakan sudah sesuai dengan peraturan," katanya.

Selain itu, Yusron juga menjelaskan bahwa apabila ada warga yang kurang mampu, bisa mengajukan permohonan keringanan ke BPKPD dengan cara warga bisa datang langsung ke kantor BPKPD untuk mengajukan permohonan keringanan PBB.

Setelah itu, kata dia, akan ada tim dari BPKPD yang akan melakukan verifikasi ke lapangan untuk menentukan layak atau tidak diberi keringanan PBB.

"Permohonan pengurangan PBB ini diatur dalam Perda Nomor 12 Tahun 2016. Dalam perda itu diatur bahwa bagi warga yang kenaikannya mencapai 50-100 persen, maka dapat diberi potongan 25 persen. Namun, jika kenaikannya itu lebih dari 100 persen, maka dapat diberi potongan hingga 50 persen dari kenaikan nilai PBB-nya," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018