Perayaan Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) di berbagai belahan dunia, dilakukan dengan caranya masing-masing. Namun demikian, berbagai kegiatan  tersebut tampaknya  ingin meneguhkan peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti aspek ekonomi , sosial, budaya,  politik dan lain sebagainya.
      
Dalam beberapa tahun terakhir,  kiprah perempuan di dunia politik di tanah air semakin terasa. Banyak peraturan perundangan yang ditelurkan juga melibatkan perempuan, termasuk peraturan perundangan terkait Perlindungan Anak dan Perempuan. Tidak sedikit  lembaga nirlaba yang bergerak untuk mengayomi dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
      
Perhatian dunia maupun di Tanah Air sendiri terhadap kaum perempuan yang dituangkan dalam peraturan, baik secara nasional maupun daerah (Perda), sebenarnya sudah sangat rigit. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah peraturan perundang-undangan itu penerapannya sudah benar-benar ramah terhadap kaum perempuan?      

Banyak kasus yang akhir-akhir ini justru sangat jauh dari kata "Ramah Perempuan". Pelecehan terhadap kaum hawa masih terus membayangi. Ketika terjadi kasus pelecehan terhadap perempuan, pemerintah belum sepenuhnya hadir. Meski dalam peraturan yang ada,  ketentuan perlindungan terhadap perempuan cukup jelas, cukup nyata, namun fakta di lapangan belum sesuai harapan.

Contohnya, dalam kasus pelecehan seksual atau kekerasan yang terjadi pada perempuan maupun anak-anak. Untuk melakukan visum, korban (perempuan atau anak-anak) harus menanggung biaya sendiri. Kondisi ini rasanya sangat tidak adil. Meskipun kaum perempuan banyak terlibat dalam pembuatan peraturan, tapi secara hukum kaum perempuan justru belum mendapatkan perlindungan yang selayaknya. Di Kota Malang misalnya,  Women Crisis Center (WCC) setempat bahkan menilai  Kota Malang yang konon mendapat predikat kota layak anak dan layak perempuan, perlu ditinjau ulang. 

Di era keterbukaan seperti sekarang ini, masyarakat, khususnya kaum perempuan,  yang mendapatkan perlakuan tidak adil memiliki ruang gerak lebih luas untuk menyuarakan apapun yang membuat dirinya tidak nyaman, tertekan karena perlakuan yang tidak adil sebagai perempuan. Kaum perempuan yang mendapat perlakuan tidak semestinya (kekerasan verbal maupun nonverbal) mungkin sudah banyak yang melaporkan ke lembaga terkait, namun bisa jadi tidak mendapat perhatian yang semestinya dan akhirnya laporan itu hilang dengan sendirinya.

Di Kota Malang, peraturan terkait keberadaan kaum perempuan sudah dua tahun lebih disahkan, yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2015. Namun pengiplementaiannya belum mewakili dan mencerminkan peraturan itu sendiri. Sebab, perempuan hingga saat ini masih dianggap makhluk nomor dua. Kita pahami bersama bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Namun, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa masyarakat dunia sampai detik ini pun masih mengganggap perempuan sebagai manusia nomor dua setelah laki–laki dalam keseluruhan sektor kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya maupun dalam institusi keluarga sebagai bagian masyarakat terkecil sekalipun.

Peran perempuan masih dianggap remeh, dianggap bukan peran–peran strategis yang memegang kendali. Padahal, sejarah telah banyak mencatat kisah heroik perempuan yang telah mengubah dunia, sehingga pada International Women’s Day ini dijadikan sebagai momentum untuk menunjukan bahwa gerakan perempuan tidak boleh mati menyuarakan keadilan.

Perempuan akan terus berjuang dan memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara yang harus dihargai, diakui perannya dan dilindungi dengan hukum secara adil. Hukum tidak sekadar sebagai pepesan kosong, tetapi benar-benar diimplementasikan dalam segala kesempatan, termasuk melindungi perempuan dari hak-haknya. (*)

 

Pewarta: Endang Sukarelawati

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018