Perkembangan teknologi digital membuat setiap orang bisa menjadi fotografer. Secepat mungkin juga mereka menampilkan hasil jepretan ke dalam linimasa di media sosial, seolah tidak peduli akan mendapat respon postif atau negatif, pujian atau cemohan, atau hanya sekadar numpang lewat di media itu.

Namun, ada beberapa orang tidak peduli akan hal itu, karena yang mereka kenal hanyalah berkarya. Mencari foto ibarat angkot mencari penumpang untuk kejar setoran. Mereka mungkin juga tidak peduli apakah karyanya itu nanti mendapat apresiasi, yang jelas setoran foto memenuhi target, mereka adalah para pewarta foto.
 
Era saat ini, mereka harus berpikir untuk meningkatkan kemampuan atau hanya menjadi robot pemasok foto buat media tempat mereka bekerja dan terlena akan pujian masa lalu ketika karyanya menjadi ikon sebuah peristiwa besar atau memenangkan sebuah lomba foto bergengsi.

Namun, teknologi menyebabkan mereka harus beranjak dari kenangan masa lalu itu. Mereka harus memantapkan pilihan apakah menjadi robot pemasok foto atau menjadi pewarta foto yang kreatif dan kelak karyanya menjadi tabungan buat masa depan.  Ars longa, vita brevis, ‘karya itu abadi, sedangkan hidup itu pendek.

Menjadi pewarta foto itu sebuah anugerah yang indah dari Tuhan, mereka  diberi kesempatan menjadi saksi dan perekam atas pekerjaan-Nya di muka bumi ini.

Melalui rekaman dalam bentuk visual dua dimensi tersebut, peristiwa-peristiwa itu tersebar ke seluruh penjuru dunia melalui sebuah media yang dikenal dengan sebutan media online.

Media inilah yang membuat para pewarta foto dituntut menjadi “multitasking”, membuat karya selain fotografi dengan cepat, dan menyebarkan produk itu dengan cepat pula.

Walau pun beberepa orang masih mendewakan karya foto, pelan tapi pasti mereka akan tergeser dengan para pewarta foto multitasking yang karyanya tidak sehebat karya mereka.

Jadi tak heran, jika profesi ini bukan menjadi pilihan favorit untuk dijadikan pekerjaan, tapi lebih tepatnya dijadikan hobi.

Apalagi saat ini, era telpon pintar, era dimana alat itu menjadi sesuatu yang tidak dapat lepas dari kehidupan layaknya magnet. Dengan kecanggihan dan fitur yang dimilikinya, alat ini mampu menjadi perekam dengan kualitas menyerupai kamera DSLR yang biasa digunakan oleh para pewarta foto bekerja.

Tidak terelakan, mereka akhirnya menjadi fotografer, yang tugasnya mengabadikan setiap momentum yang dianggap menarik, terlebih peristiwa yang ramai diperbincangkan di media sosial.

Mereka akan berbondong-bondong seperti semut mengerumuni gula, mereka tidak peduli dengan sekitar asalkan keinginan mendapat gambar terealisasi.

Seperti kejadian bom Thamrin, Jakarta, pada Kamis 14 Januari 2016 silam, begitu banyak orang berkumpul menyaksikan dan mengabadikan peristiwa itu menggunakan telepon genggam tanpa berpikir bahwa mereka berpotensi terkena peluru nyasar atau pun ledakan bom.

Begitu pula kejadian longsor di Ponorogo, Jawa Timur, pada Sabtu 1 April 2017 silam, ribuan relawan dikerahkan untuk mencari korban yang tertimbun longsor, namun beberapa di antaranya hanya sibuk mengabadikan dengan telepon genggam dan berswafoto. Mungkin mereka berpikir dengan mengabadikan peristiwa itu, keberadaan mereka pun diakui.

Mereka tidak sadar kalau mereka terkadang cukup nengganggu karena menginginkan gambar seperti imajinasinya yang tidak mengenal etika. Dan akhirnya berebut panggung dengan para pewarta foto.

Panggung yang dulunya sangat ekslusif dan hanya dimiliki oleh para pewarta foto. Kini menjadi milik mereka yang menguasai telepon pintar dan media sosial. Mereka berlomba menjadi tercepat layaknya media online walau kadang termanfaatkan menjadi penyebar dan korban berita "hoax" atau pun berita provokatif.

Tugas pewarta foto pun semakin tertantang dangan hadirnya "fotografer" ini. Walau ada yang menggangap mereka ancaman, tapi lebih baik kita menganggapnya sebagai baris terdepan dalam penyebaran informasi. Karena hidup itu indah kalau saling berbagi. (*)

Pewarta: Zabur Karuru

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018