"Sisa Radio Kompo" begitu tulisan dinding di salah satu sudut Museum Sisa Hartaku yang berada di kaki Gunung Merapi, atau tepatnya di Dusun Petung, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta.

Radio itu sudah tidak berbentuk, hanya bekas lelehan kering akibat lahar panas gunung berketinggian 2.930 mdpl itu yang terlihat, seolah menjelaskan barang itu dulunya dibanggakan pemiliknya, namun kini usang tidak berupa, hanya ditemani debu yang setia melekat.

Gawai yang fungsi kekiniannya mampu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, di lokasi museum hanya terlihat kering tak berdaya, layar kacanya hilang dan plastik pelapisnya meleleh kering.

Perabot rumah tangga seperti gelas, piring, sendok terlihat tidak mengkilat lagi, berubah warnanya menjadi abu-abu bekas panas erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010.

Fungsi dan manfaatnya pun tiada, bahkan sentuhan tangan yang selalu menemani perabot rumah tangga itu setiap si empunya ingin makan, kini tidak bisa lagi dirasakan benda tersebut.

Bahkan pengunjung pun dilarang memegang, akibatnya benda-benda itu sendiri tak berdaya, karena di dinding museum juga tertulis "Dilarang Memegang".

Gambaran beberapa benda di atas itu apa cukup mewakili ganasnya panas Merapi? Mungkin bagi sebagian manusia cukup.

Dan apabila belum, di lokasi itu masih banyak terdapat sisa benda yang dipajang, bahkan benda yang terbuat dari besi dan baja yang meleleh kering pun dijadikan bukti bahwa "Merapi tak Pernah Ingkar Janji".

Lokasi keberadaan museum yang dibuat secara mandiri oleh beberapa warga di kawasan itu, kini menjadi bagian paket bagi wisatawan menarik untuk dikunjungi ketika ke Merapi.

Bangunannya yang cukup sederhana, dibuat dari sisa rumah yang terkena letusan dengan tampak beberapa tembok hancur, serta bagian-bagian kamar yang usang, membuat setiap wisatawan seperti merasakan keaslian ganasnya letusan gunung saat itu.

Bagian depan museum, terpajang tulang komplit yang terdiri dari bagian kepala, badan dan kaki hewan ternak sapi milik warga yang terimbas panasnya letusan Merapi.

Tulang-tulang itu disusun kembali secara rapi menyerupai bentuk tubuh hewan normal, dan berdiri agak miring dengan bantuan kawat-kawat yang mengikat satu sama lain.

Tidak ada pemandu khusus ketika wisatawan masuk dan melihat-lihat keberadaan benda-benda usang tersebut, sehingga wisatawan hanya bisa bergumam dan tertegun melihat sisa-sisa benda yang dipajang disertai foto-foto penyelematan saat kejadian.

Sejumlah wisatawan juga hanya bisa berbisik ke rekan sebelahnya, dengan analisa pribadi dan dugaan-dugaan kejadian yang sudah 18 tahun berlalu tersebut.

"Mungkin benda yang terpajang ini hanya terkena sebagian dari panasnya erupsi, sehingga tidak seluruhnya meleleh," kata Khoirun Nisa, salah satu wisatawan asal Surabaya yang berkunjung ke museum itu, dan menduga beberapa benda terpajang di museum.

Nisa tidak datang sendirian, rekan wisatawan lainya Sri Handy Lestari juga mengakui, benda-benda itu bisa menjadi pelajaran bagi manusia saat ini untuk mengetahui ganasnya bencana Merapi kala itu.

Ia mengatakan, benda-benda yang terpajang bisa dipelajari satu per satu sebagai pengingat bahwa keberadaan apa pun di dunia ini bisa hancur dan meleleh akibat bencana yang datang secara tiba-tiba.

Pelajaran
Salah satu pemandu rombongan yang juga warga sekitar, Edi mengatakan keberadaan museum sengaja dibuat untuk menyimpan barang-barang bekas akibat letusan Merapi.

Edi menceritakan, awal mula museum sederhana itu dibuat ketika salah satu warga yang selamat dari bencana mengambil sisa-sisa barang untuk dijadikan pengingat kepada anak cucunya nanti mengenai kedahsyatan bencana Merapi.

"Awalnya, salah satu anggota keluarga korban Merapi sengaja mengumpulkan barang-barang bekas sisa erupsi Merapi di salah satu rumah, tujuannya agar anak cucu mereka kelak mengetahui kedahsyatan bencana itu," katanya.

Namun, setelah beberapa barang terkumpul, kata Edi, membuat beberapa orang yang berkunjung ke Merapi tertarik, sehingga dibuatlah museum mini di bekas rumah warga.

"Ini untuk mengenalkan kepada pengunjung yang datang mengenai dahsyatnya tragedi Merapi, ditambah foto-foto yang dipajang di setiap dinding museum," ujarnya.

Museum itu, kini sudah menjadi paket wisata Merapi, sebab selain ada unsur tantangan juga terdapat pelajaran terkait bencana.

"Dalam setiap paket Wisata Merapi, selain pengunjung bisa bersenang-senang, kami juga menggugah melalui keberadaan museum mini ini. Diharapkan muncul religuitas pengunjung terkait ketidakberdayaan setiap manusia dalam menghadapi bencana," katanya.

Pemandu lain, Haryanto menuturkan selain di Museum Sisa Hartaku, wisatawan juga bisa mengambil pelajaran di lokasi Bunker, Dusun Kaliadem.

Bunker atau ruang bawah tanah yang dibangun di lereng Merapi itu merupakan tempat berlindung dari awan panas.

Di lokasi itu, kata Haryanto, pernah ditemukan dua orang tewas akibat terjebak lahar panas.

Paket lainnya, antara lain menelusuri Bronggang, Argomulyo atau letak Kali Gendol yang sudah dikeruk pasirnya, dan berziarah ke makam Mbah Maridjan di Srunen, Glagaharjo.

Sementara itu berdasarkan catatan laman Wikipedia, letusan atau puncak keaktifan Gunung Merapi bisa terjadi setiap dua sampai lima tahun sekali, dan sejak tahun 1548 Merapi tercatat sudah meletus sebanyak 68 kali.

Magelang serta Yogyakarta merupakan kota yang selalu terkena dampak, karena secara geografis wilayahnya sangat berdekatan atau berjarak di bawah 30 km dari puncaknya.

Merapi, juga tercatat menjadi salah satu gunung dari 16 gunung api dunia yang berbahaya.(*)
Video Oleh Abdul Malik

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018