Banyuwangi (Antara Jatim) - Sebanyak 26 organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa menggelar "Festival Solidaritas Stop Tambang Emas Tumpang Pitu" di depan Taman Makam Pahlawan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (8/9) malam.
Panitia Festival Anang Suindro mengatakan festival tersebut diekspresikan dengan bermusik, berpuisi, aksi teatrikal, berdoa dan shalat magrib berjamaah yang dilakukan oleh elemen masyarakat dan mahasiswa.
"Aksi tersebut sebagai bentuk keprihatinan bersama atas kriminalisasi yang terus menimpa pejuang lingkungan hidup di sekitar Gunung Tumpang Pitu yang merupakan kawasan pesisir selatan di Kecamatan Pesanggaran," katanya di Banyuwangi.
Menurutnya kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup di Tumpang Pitu telah berlangsung dalam dua tahun terakhir dan sedikitnya ada lima kasus kriminalisasi yang menimpa 14 warga dan satu orang pengacara dalam kurun 2015-2017.
"Mereka yang menjadi korban kriminalisasi selama ini aktif berjuang menolak pertambangan emas yang mengancam ruang hidup dan keselamatan penduduk di Banyuwangi khususnya, dan Pulau Jawa pada umumnya," tuturnya.
Ia mengatakan kriminalisasi telah menjadi alat represi baru terhadap warga sejak kegiatan industri pertambangan beroperasi di pesisir selatan Banyuwangi, mulai PT Indo Multi Niaga pada 2007-2012 yang kemudian digantikan oleh dua anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold, PT Bumi Suksesindo di blok Gunung Tumpang Pitu dan PT Damai Suksesindo di blok Gunung Salakan.
"Padahal Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan merupakan kawasan penting bagi 48 ribu jiwa penduduk di lima desa, untuk berlindung dari bencana tsunami," katanya.
Kawasan tersebut pernah dilanda tsunami pada 3 Juni 1994 yang menyebabkan 299 warga tewas dan selain berfungsi sebagai benteng tsunami, Tumpang Pitu menjadi pusat mata air yang dibutuhkan untuk konsumsi dan pertanian warga.
"Selain itu, warga sekitar juga menjadikan gunung setinggi 450 mdpl tersebut sebagai sumber pangan. Akan tetapi, sejak pemerintah menyerahkan gunung ini kepada korporasi tambang, warga tidak lagi bisa mengakses Tumpang Pitu," ujarnya.
Kementerian Kehutanan atas usulan Bupati Banyuwangi menurunkan status hutan lindung di Gunung Tumpang Pitu seluas 1.942 ha berdasarkan SK nomor 826/Menhut –II/2013 dan hilangnya hutan lindung berarti ancaman atas hilangnya sumber air, sumber pangan, dan memperburuk pemanasan global yang telah menyebabkan berbagai bencana alam di Indonesia.
"Dampak nyata yang telah diterima warga atas hilangnya hutan ini adalah banjir lumpur yang mencemari Pantai Pulau Merah dan lahan pertanian pada Agustus 2016. Nelayan juga mengeluhkan bahwa banjir lumpur telah menyebabkan beberapa jenis ikan sulit ditemui, sehingga nelayan harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk menangkap ikan dengan jarak lebih jauh," katanya.
Menurutnya mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, bahkan secara khusus tertuang dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Atas dasar itu, masyarakat sekitar Tumpang Pitu memiliki hak untuk keberatan terhadap rencana usaha/kegiatan yang diperkirakan memiliki dampak terhadap lingkungan hidup. Ditegaskan pula dalam Pasal 66 undang-undang tersebut bahwa pejuang lingkungan tak bisa dikenai hukum," ucapnya.
Untuk itu, lanjut dia, elemen masyarakat dan mahasiswa mendesak Presiden RI, Gubernur Jawa Timur, dan Bupati Banyuwangi untuk mencabut seluruh perizinan yang telah diberikan kepada perusahaan tambang yang beroperasi di Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan.
"Kami juga mendesak aparat penegak hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga pejuang lingkungan hidup dan patuhi isi UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya menegaskan.
Ia juga megimbau kepada seluruh warga Banyuwangi untuk ikut bergerak memperjuangkan hak lingkungan demi menjamin keberlanjutan hidup bagi generasi mendatang dan sikap yang tersebut akan menentukan kualitas ruang hidup kita di masa mendatang.
Festival Solidaritas Stop Tambang Emas Tumpang Pitu terselenggara berkat 26 organisasi yakni FORBanyuwangi, WALHI Jawa Timur, FK3I Jatim, BPAN Osing, KontraS Surabaya, BaFFEL, GMNI Banyuwangi, Konsorsium Pembaruan Agraria Jatim, Protection International, Kelas Sastra Komunal, Home Brengsex, Seruni Akar, Layar Kemisan, BEM Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Banyuwangi Beach Clean Up, ForkoMM, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), PMII Banyuwangi, Klub Indonesia Hijau, Ganjapala, UKM Musik Untag Banyuwangi, MAHAPLUS, Teater Bhineka 45, Karang Taruna Sebanusa Gambor, Banyuwangi Kita, Sudut Mahasiswa.
Dalam Festival itu, sempat terjadi dialog antara panitia Anang Suindro dengan Kasat Intel Polres Banyuwangi, serta Ketua Pemuda Pancasila Banyuwangi Eko Suryono karena adanya upaya pembubaran acara oleh Pemuda Pancasila.
Namun kegiatan tersebut tetap berlangsung dan festival tersebut berakhir 15 menit lebih awal dari batas waktu yang tercantum dalam surat pemberitahuan panitia, sehingga pada pukul 20.45 WIB, panitia dan peserta berdiri menundukkan kepala untuk menutup kegiatan festival dengan doa.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017