Masyarakat China mewajibkan ritual Ganbei di setiap ajang makan bersama sehingga di setiap meja selalu tersedia gelas kristal berkaki panjang.
Gelas khusus minuman beralkohol tersebut biasanya berada di sebelah kiri karena sebelah kanan terdapat cangkir kecil untuk teh yang mengapit piring dan sumpit.
Biasanya pelayan menuangkan bir, wine, atau jenis minuman alkohol lainnya pada gelas kristal tersebut sebelum jamuan makan bersama dimulai.
Pelayan baru bisa menyajikan aneka ragam makanan begitu tuan rumah memberikan aba-aba "Ganbei" yang membuat para tamu serentak berdiri sambil mengacungkan gelas berisi minuman beralkohol tersebut.
Dalam etimologi Mandarin, Ganbei berarti mengeringkan atau mengosongkan gelas. Kata itu biasanya digunakan untuk mengajak para tamu bersulang, sama dengan orang Jepang yang menyebut "Kanpai" atau orang Amerika bilang "Cheers".
Orang China yang ber-Ganbei harus menenggak tandas minuman alkhol di gelasnya masing-masing. Berbeda dengan orang bule yang suka minum alkohol secara pelan-pelan.
Ganbei tidak hanya dilakukan di awal jamuan, melainkan juga di sela-sela dan di penghujung acara.
Bedanya di awal dan di akhir dilakukan secara bersama-sama. Namun yang di tengah-tengah, biasanya dilakukan dengan mendatangi satu-persatu tamu.
Di situlah pentingnya ritual tersebut sebagai wujud atau ikhtiar memupuk persahabatan yang lebih erat menuju kesuksesan bersama atau bisa juga sebagai bentuk kegembiraan atas suatu pencapaian.
Oleh sebab itu, hampir mustahil jamuan makan bersama di daratan Tiongkok tidak tersedia gelas bir atau minuman alkhol lainnya sebagai sarana utama Ganbei.
Hampir mustahil pula kedai, rumah makan, dan restoran di China yang tidak menyediakan minuman beralkohol, sekalipun rumah makan berlabel halal.
Ganbei juga mewarnai jamuan makan bersama di Beijing, Kamis (31/8) malam, yang digelar Asosiasi Islam China (CIA) menjelang Hari Raya Idul Adha.
Begitu Ketua Umum CIA Hasan Yang Faming memberikan aba-aba Ganbei, Wakil Perdana Menteri China Liu Yandong beranjak dari tempat duduknya.
Namun ada pemandangan yang sangat berbeda dan sama sekali tidak sesuai tradisi masyarakat Tiongkok.
Sarana Ganbei tidak menggunakan bir, arak, wine atau minuman beralkohol lainnya, melainkan jus jeruk!
Sangat janggal memang, gelas-gelas kristal yang dipegang para petinggi Partai Komunis China (PKC) itu berisi air berwarna kuning cerah tak beruap dan tak menyengat.
Liu yang tercatat sebagai anggota Politburo PKC bersulang jus jeruk dengan pemimpin komunitas muslim China Yang Faming.
Dengan membawa gelas masing-masing, keduanya menuju salah satu meja bundar. "Ini dari Indonesia," kata Yang memperkenalkan Konselor Politik Kedutaan Besar RI di Beijing, Suargana Pringganu.
Liu mengajak Suargana bersulang dan meminum jus jeruk bersama-sama sebelum mendatangi meja-meja lain tamu undangan dari kalangan pejabat setempat, pengurus CIA, dan perwakilan negara-negara Arab dan Islam itu.
Janggal vs Ideal
Janggal dalam tatanan budaya, namun tetap ideal dalam tatanan agama, demikian kesan dari jamuan resmi yang dihadiri jajaran orang ketiga di struktur pemerintahan China tersebut.
Dianggap janggal karena tidak sewajarnya ritual Ganbei tanpa minuman beralkohol. Seorang pria Filipina dalam kesempatan jamuan santap malam bersama di Kota Guangzhou pada awal Juli lalu dipaksa harus menenggak minuman beralkohol sampai habis saat mengajak koleganya yang merupakan warga setempat.
"Kamu bukan muslim, tidak ada alasan tidak minum alkohol," kata kolega yang diajak Ganbei.
Namun pada saat bersaman warga China tersebut sangat memaklumi koleganya yang tidak mengonsumsi alkohol karena alasan doktrin agama.
Dia tetap menyediakan gelas kristal untuk sarana Ganbei, meskipun yang ditenggak kolega lainnya tidak mengandung alkohol.
Demikian halnya pemandangan yang terjadi di restoran Xinjiang Plaza, Beijing, pada malam menjelang Idul Adha 1438 H tersebut.
Sikap CIA sebagai tuan rumah pada acara yang digelar di Distrik Haidian tersebut sudah sangat ideal.
Sebagai pelestari dan pengawal ajaran Islam di daratan Tiongkok, CIA sangat mafhum minuman memabukkan dilarang oleh agama.
Minuman yang tersedia di atas meja-meja para tamu pun sama dengan di atas meja bundar kehormatan yang diisi jajaran pengurus CIA dan PKC, yakni jus jeruk dan teh ditambah kola.
Sepertinya CIA memegang salah satu prinsip "qawaidul fiqhiyah" yang berbunyi "melestarikan platform lama yang baik dan menetapkan plaftorm baru yang lebih baik lagi."
Kehangatan suasana jamuan santap malam bersama yang juga diisi dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran itu tetap terasa, meskipun tanpa alkohol.
Keramahan dan keakraban Liu pada malam itu senada dengan stelan gaun berwarna biru muda yang dikenakannya.
Sementara itu, di kalangan umat Islam China bahwa membakar hio atau dupa sudah jamak dilakukan di setiap ritual keagamaan.
Pembakaran hio dan mencium kitab suci Al Quran oleh imam dan "shahibul ibtila'" atau keluarga yang berduka menyertai prosesi pemberangkatan jenazah warga muslim China setelah disalati di masjid menuju makam.
Bahkan di makam Syekh Ali Imaduddin dan Syekh Ahmad Alburthoni, keduanya pendiri dan umam Masjid Niujie, Beijing, juga terdapat tempat pembakaran hio.
Masjid-masjid di China berornamen bunga dan naga dengan dominasi warna merah mirip kelenteng melambangkan bentuk penghormatan umat Islam terhadap kearifan lokal yang dianggap sebangun dan sebidang dengan salah satu kaidah fikih di atas. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017