Surabaya (Antara Jatim) - Museum House of Sampoerna (HoS) Surabaya memamerkan tradisi upacara kematian dari berbagai suku di Indonesia, yang terbuka untuk umum hingga 1 Juni mendatang.
"Pameran ini sekaligus menyambut Hari Museum Internasional yang diperingati setiap 18 Mei," ujar Manager Museum dan Marketing HoS Rani Anggraini, dikonfirmasi di Surabaya, Kamis.
Menurut dia, kebetulan tema yang diusung dalam peringatan Hari Museum Internasional adalah "Saying the Unspeakable in Museums", yang dalam bahasa Indonesia berarti "Sampaikan yang tak Terucap di Museum".
"Untuk mendukung tema itu, maka kita suguhkan pameran upacara kematian dari beberapa suku di Indonesia," katanya.
Dalam pameran ini, Museum HoS di Jalan Taman Sampoerna Surabaya ini merangkul Pusat Kajian Etnografi Universitas Airlangga Surabaya, yang memiliki koleksi artefak maupun replika terkait beberapa tradisi upacara kematian dari berbagai suku di Indonesia
Dari beberapa koleksi Pusat Kajian Etnografi Universitas Airlangga yang dipamerkan, pengunjung dapat melihat betapa bangsa Indonesia memiliki banyak tradisi upacara kematian yang unik.
"Bagi sebagian suku di Indonesia, kematian justru dianggap sebagai suatu tahap yang membuka pintu perjalanan menuju kehidupan lain. Karena itulah berbagai prosesi upacara kematian diselenggarakan oleh pihak keluarga dan kerabat sebagai penghormatan dan ungkapan kasih sayang kepada mendiang," kata Rani.
Salah satu yang dipamerkan adalah upacara kematian dari Suku Asmat di pedalaman Papua yang tidak pernah mengenal tradisi penguburan jenazah.
Suku Asmat, seperti yang dipamerkan di Museum HoS Sampoerna, tampak menggelar jenazah di atas "para-para" atau anyaman bambu di ruangan terbuka yang terpisah dengan areal permukiman dan membiarkannya hingga membusuk.
"Kelak tulang belulangnya akan disimpan. Sedangkan tengkoraknya akan diambil untuk dihias sedemikian rupa dan dipergunakkan selayaknya bantal tidur sebagai tanda cinta kasih pada mendiang," ujar Rani.
Selain itu juga dipamerkan tradisi upacara kematian Mapesah oleh suku Bali Aga di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.
Dalam Upacara Mapesah, jenazah diletakkan di atas tanah di bawah pohon Taru Menyan yang mengeluarkan aroma harum, dengan hanya ditutup menggunakan kain serta bilah-bilah bambu yang disusun berbentuk prisma.
"Bau harum dari pohon Taru menyan dipercaya menetralisir bau tidak sedap dari proses dekomposisi jenazah," jelas Rani.
Dua mayat dari tradisi kematian Suku Asmat dan Suku Bali Aga yang dipamerkan di Museum HoS, menurut Rani, adalah koleksi asli dari Pusat Kajian Etnografi Universitas Airlangga Surabaya.
"Sedangkan tradisi kematian dari suku lainnya dalam pameran ini adalah replika, yang juga milik Pusat Kaijan Etnografi Universitas Airlangga," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017