Tindak kejahatan bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik itu melalui pola kekerasan (ekstrem) maupun dengan modus halus lewat mulut manis untuk memperdaya korbannya.

Bentuk kejahatan keras menjurus kasar bisa kita saksikan dalam kasus kriminalitas sehari-hari, seperti perampokan, penjambretan dan lain-lain, sedangkan model yang halus sering kita jumpai pada kasus penipuan. Keduanya mempunyai tujuan sama, yakni mendapatkan keuntungan sekaligus mewujudkan cita-cita yang diinginkannya.

Itu pula yang ditunjukkan oleh sebagian organisasi massa (ormas) di Indonesia dengan melakukan aksi kejahatan merongrong kewibawaan Negara yang tentu saja mengabaikan empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.

Meski tidak secara eksplisit mengaku ingin mendirikan Negara Islam, kelompok ormas garis keras sudah menunjukkan perilaku dengan memainkan sentimen suku, agama, rasialisme, dan antar-golongan (SARA) sebagai alat perjuangannya. Sebaliknya, mereka yang tampak lebih santun dalam setiap aksinya, malah terang-terangan meluapkan hasratnya membentuk Negara Muslim.

 Dalam melakukan propagandanya, kelompok yang lebih lunak ini menggunakan pola-pola cukup cerdas. Misalnya, mereka lebih memilih kata “khilafah” dalam setiap aksinya sehingga orang awam memahaminya sebagai hal yang positif, tanpa mengetahui makna kata tersebut. Karena itu tidak heran kalau pengikutnya pun bertambah.

Mereka juga dengan tegas menyatakan tidak anti-Pancasila, tapi dengan niat mendirikan Negara Islam, tentu pernyataan itu hanya sekadar pemanis bibir belaka.Keinginan mendirikan Negara Muslim, termasuk menjalankan syariah Islam di Indonesia, tentu saja tidak tepat, karena Negara ini sejak awal telah dihuni oleh masyarakat yang pluralis, terdiri dari berbagai suku, agama, budaya dan bahasa. Mumpung belum telanjur besar dan meluas, banyak kelompok organisasi keagamaan meminta pemerintah untuk tegas menghadapi ancaman ini. Adalah Nahdlatul Ulama melalui ketua umumnya Prof KH Said Aqil Siradj dengan lantangnya meminta Presiden Joko Widodo membubarkan ormas-ormas yang menyimpang itu, apalagi sejumlah negara juga sudah melarangnya.

Permohonan lebih galak disampaikan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas yang secara gamblang menyebut ormas tertentu harus dibubarkan karena anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan aktif mengampanyekan Negara khilafah.

Menurut Yaqut, sangat berbahaya membiarkan organisasi yang bisa  mengancam keutuhan NKRI tetap eksis, bahkan berkembang subur di Tanah Air. Yang lebih dia sesalkan,  menjadikan kampus-kampus yang merupakan lembaga pencetak calon pemimpin bangsa ke depan itu sebagai basis dan sasaran utama penyebaran pengaruh mereka. 

Pembiaran terhadap kegiatan ormas ini, tidak heran kalau kemudian memunculkan spekulasi  bahwa ini merupakan instrumen dari pihak internal Negara  untuk kepentingan mereka, seperti mengonsolidasi umat Islam untuk merebut kekuasaan. Wajar saja kalau pemerintah kemudian menganggap masalah ini sangat sensitif. Rupanya tidak mudah bagi Presiden Jokowi untuk segera membubarkan ormas-ormas yang dinilai akan menabrak pilar-pilar kebangsaan.

Masih ada waktu bagi Presiden untuk mengambil keputusan yang tepat, tapi juga jangan terlalu lama, karena dikhawatirkan terjadi konflik horizontal oleh pihak-pihak yang tak sabar dan mengambil jalan pintas dalam menyikapi sepak terjang ormas penyimpang, sehingga Negara menjadi pertaruhan. (*)

Pewarta: Indro Sulistyo

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017