Malang, (Antara Jatim) - Sosoknya yang mencerminkan seorang pekerja keras, namun tetap ramah dengan senyuman yang selalu tersungging pada setiap orang yang dikenalnya, membuat Samanhudi, seorang pemulian tanaman padi organik ini mudah dikenal masyarakat, khususnya petani di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Kerja keras Samanhudi mengembangkan padi organik yang dirintis sejak 1999 tidaklah mudah. Samanhudi harus jatuh bangun mengenalkan pertanian organik yang saat itu masih langka dan dianggap "aneh". Namun, keyakinannya akan sebuah keberhasilan tidak memupuskan harapannya untuk menginternasionalkan padi organik tersebut.

"Saya mulai menanam padi organik pada tahun 1999 dengan luas lahan hanya 1,5  hektare, namun hasil panen masih belum ada yang mau membeli. Akhirnya hasil panen itu diminta para petani yang ingin mengembangkan padi organik. Awalnya sih mereka bilang membeli untuk bibit, namun ya berlalu begitu saja, tidak ada yang membayar," ungkapnya.

Kondisi itu, kata Samanhudi, terus berlangsung hingga beberapa kali panen, bahkan padi organik yang dihasilkannya diminta untuk contoh bibit. Karena tidak ada petani maupun instansi yang membayar hasil panen padi organik itu, Samanhudi harus merugi hingga jutaan rupiah, namun ia tetap mengikhlaskannya demi mengenalkan dan pengembangan padi organik di wilayah itu.

Setelah merugi dan harus jatuh bangun, Samanhudi mulai berpikir membangun kembali dan memperluas lahan, serta mengelola pertanian organik dengan manajemen yang "profesional". Samanhudi mulai merekrut sarjana lulusan beberapa bidang, yakni teknologi pertanian, akuntansi, teknologi informasi dan pemasaran pada tahun 2010.

Dengan manajemen dan pengelolaan yang bagus, pertanian organik yang diinisiasi Samanhudi secara perlahan mulai berkembang dan menunjukkan kemajuan signifikan, meski tanpa campur tangan dari pemerintah (Pemkab) setempat.

"Pelan-pelan lahan pertanian organik makin luas dan manajemen pengelolaannya juga makin  membaik. Kalau dulu terkendala di bidang pemasaran, sekarang sudah lancar, bahkan hasil panen kami ekspor ke sejumlah negara," ujarnya.

Berkembangnya pertanian padi organik yang dikelola Samanhudi justru didampingi oleh Bank Indonesia (BI) Wilayah Jatim dengan mengembangkan kluster khusus padi organik. Dengan adanya pendampingan manajemen maupun kebutuhan lainnya dari BI, seperti mesin vacum, luas lahan pertanian pertanian padi organik terus bertambah, dari 1,5 hektare pada 1999, sekarang menjadi sekitar 78 hektare.

Mesin vacum yang dibantu BI dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)-nya itu sangat membantu petani, apalagi kapasitasnya sekarang sudah mencapai 800 kilogram per delapan jam. Dengan semakin luasnya lahan dan ahsil panen yang mulai meningkat, kebutuhan vacum ditambah menjadi tiga kali lipat.      

Padi organik yang dikembangkan pun tidak hanya padi organik yang menghasilkan beras putih, tetapi juga beras merah dan beras hitam. Harga jual beras organik yang cukup mahal, apalagi beras hitam organik yang mencapai Rp50 ribu hingga Rp70 ribu per kilogram itu memantik semangat Samanhudi dan petani lainnya untuk terus berinovasi mengembangkan pertanian organik tersebut.

Menurut Samanhudi, pertanian organik yang dikembangkannya justru menguntungkan petani karena, selain tidak membutuhkan pembelian pupuk kimia, harga jual beras organik juga lebih mahal dan satu tahun juga mampu panen tiga kali seperti halnya pertanian konvensional.

Hanya saja, lanjutnya, lokasi lahan dengan ketenggian yang berbeda juga akan menghasilkan kualitas beras maupun panen yang berbeda. Contohnya, lahan pertanian padi organik di atas ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut (mdpl) mampu menghasilkan panen rata-rata mencapai 10 ton per hektar dan lahan di ketinggian 600 mdpl hanya mampu menghasilkan 5,5 ton per hektare.

Namun, kualitas beras yang dihasilkan juga berbeda, semakin tinggi posisi area tanam akan semakin tinggi kualitas berasnya, namun akan semakin rendah produktivitasnya (hasil panen). "Sebenarnya selisih biaya produksi pertanian organik dengan konvensional tidak terlalu siginifikan, yakni sekitar Rp12 juta per musim tanam untuk pertanian organik dan sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta untuk pertanian konvensional," urainya.

Ia mengatakan pertanian organik cukup menguntungkan karena pupuk yang dibutuhkan tidak perlu membeli, cukup menggunakan kompos (organik). "Ke depan biaya produksi pertanian padi organik ini akan semakin murah karena lahan yang ada semakin bagus, sehingga tidak perlu kerja keras untuk menggemburkannya," ujarnya.

Senada dengan Samanhudi, Kepala BI Kantor Perwakilan Jawa Timur, Difi Johansyah mengemukakan memang perlu ada perubahan cara pandang petani agar tidak hanya mampu bertani dengan pupuk kimia saja, tetapi juga mengembangkan pertanian organik guna menuju hidup lebih sehat.

Memang, katanya, pertanian padi organik lebih repot dan dari sisi lingkungan juga ada potensi ancaman yang cukup mengganggu, yakni hama. "Karena hamanya berasal dari alam, penanganannya juga harus alami pula. Sekarang kita harus mulai memikirkan hidup sehat dan tidak kalah pentingnya adalah mengembalikan kesuburan tanah yang selama ini terus terkikis bahan kimia," imbuhnya.

Ia berharap pertanian padi organik yang dikembangkan di kluster Banyuwangi dan Jember itu akan terus berkembang, termasuk luas lahannya. "Kami berharap pertanian padi organik ini 'sustainable', selain bisa menghasilkan beras lebih berkualitas dan lebih sehat, kesuburan tanah juga bisa dikembalikan seperti sebelum penggunaan pupuk kimia yang berlebihan," terangnya.
  
Sertifikasi Internasional
Berkembangnya pertanian padi organik dan meluasnya pangsa pasar konsumen membuat para petani padi organik di Banyuwangi berfikir keras untuk mengamankan produk sekaligus penjaminan mutu yang tersertifikasi secara internasional. Pasar beras organik yang dikembangkan para petani Banyuiwangi tersebut tidak hanya di tataran lokal Jatim maupun nasional, tetapi sudah merambah pasar internasional.

Sejumlah negara yang menjadi pasar beras organik Banyuwangi tersebut di antaranya adalah China, Selandia Baru, Amerika Serikat, Jepang dan sejumlah negara di daratan Arab Saudi. "Kami upayakan proses pengajuan sertifikasi internasional untuk produk kami, sehingga ada jaminan mutu yang mampu mengatrol harga," tutur Samanhudi.

Produk beras organik pertama kali yang selalu gagal di pemasaran itu, kini tak lagi mampu memenuhi pasar internasional karena permintaan yang terus meningkat. Sedangkan permintaan pasar lokal juga terus meningkat. Proses pengajuan untuk sertifikasi interansional akan segera diajukan agar memiliki nilai lebih.

Ia mengaku untuk proses sertifikasi internasional beras organik asal Banyuwangi tersebut banyak dibantu dari pihak ketiga melalui dana tanggung jawab sosialnya (CSR). "Pemkab Bantuwangi juga memberikan bantuan pendampingan untuk proses pengurusannya, namun kami lebih banyak dibantu dari BI Jatim," kata Samanhudi.

Hanya saja, untuk memenuhi pasar internasional tersebut, petani Banyuwangi yang sudah membentuk koperasi Mendo Sampurno itu tak melakukannya sendiri, melainkan dikerjasamakan dengan pihak ketiga (importir), yakni Healthy Chance. "Kami memasok ke perusahaan tersbeut dan yang meneruskan ke negara-negara konsumen adalah perusahaan tersebut, sehingga kami tidak tahu impornya ke negara mana," tuturnya.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi Arif Setiawan berharap pendampingan dengan dana CSR dari BI Jatim itu akan terus berlanjut, termasuk dalam upaya mengembangkan destiminasi (bibit padi yang sudah keluar akar seperti kecambah) agar pertanian padi organik di wilayah itu terus bertambah luasannya (sawah bakunya).

Sebelumnya, kata Arif, luas lahan padi organik hanya sekitar 42 hektare yang tersebar di tiga kecamatan, namun sekarang sudah mencapai lebih dari 70 hektare yang tersebar di sejumlah spot di tujuh kecamatan. Luas tanam sawah baku secara keseluruhan di Kabupaten Banyuwangi mencapai 65.540 hektare.

"Dengan luasan lahan sawah baku tersebut, Banyuwangi bisa swasembada pangan, bahkan dikirim ke luar daerah. Oleh karena itu, Banyuwangi menjadi salah satu lumbung pangan di Jatim, bahkan nasional. Apalagi jika beras organik ini nanti sudah bersertifikasi internasional, pasar interansional akan semakin terbuka," urainya.
                                                                   
Para petani padi organik di Banyuwangi mengupayakan pengurusan sertifikasi internasional beras organik karena pangsa pasarnya saat ini semakin meluas, bahkan merambah pasar luar negeri (ekspor).

Pemulia tanaman padi organik Kabupaten Banyuwangi Samanhudi mengatakan tahun ini akan diajukan proses sertifikasi internasional tersebut. "Harapan kami tahun ini sudah selesai proses pengajuannya dan sertifikasi juga turun agar beras organik yang dihasikan para petani di Banyuwangi ini memiliki nilai lebih," katanya di Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis.

Ia mengaku untuk proses sertifikasi internasional beras organik asal Banyuwangi tersebut banyak dibantu dari pihak ketiga melalui dana tanggung jawab sosialnya (CSR). "Pemkab Bantuwangi juga memberikan bantuan pendampingan untuk proses pengurusannya," kata Samanhudi.

Samanhudi mengaku untuk menuju pertanian padi organik yang dirintis mulai 1999 itu tidak mudah, bahkan dirinya harus jatuh bangun untuk mengembangkan padi organik tersebut, apalagi sama sekali tidak ada bantuan dari pemkab setempat.

Untuk menetapkan lahan pertanian yang digarap itu sebagai pertanian organik pun juga harus melalui tahapan, yakni konvensional, transisi dan organik. Dari lahan konvensional menuju transisi membutuhkan waktu cukup lama, demikian juga dari transisi menuju organik, juga membutuhkan waktu lama, bahkanyang menetapkan adalah badan sertifikasi.

Menurut dia, loaksi tanaman padi organik juga berpengaruh besar terhadap produktivitas atau hasil panen padi. Misalnya, lahan padi organik di atas ketinggian 0-200 meter di atas permukaan laut (mdpl) produktivitasnya semakin bagus, namun rendah di kualitas.

Semakin tinggi lokasi area pertanian, akan semakin rendah produktivitasnya, namun kualitas yang dihasilkan semakin bagus. Area pertanian organik di ketinggian 0-200 mdpl rata-rata produktivitasnya mencapai lebih dari 10 ton per hektare, sedangkan yang berada di atas 600 mdpl, rata-rata hanya mampu menghasilkan sekitar 5,5 ton per hektare.

Sementara itu, Kepala Pengembangan Ekonomi Bank Indonesia (BI) Jember yang membawahi lima daerah teramsuk Kabupaten Banyuwangi, Lukman Hakim mengaku untuk mewujudkan sertifikasi intenasional beras organik Banyuwangi itu pihaknya tidak bisa hanya bekerja sama denga petani, tetapi harus melibatkan banyak instansi.

"Untuk merealisasikan ini semua kami tidak bisa bekerja sendirian. Kluster binaan BI yang fokus pada pengemabngan beras organik ini cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan pangan ekspor maupun lokal. Dan, untuk ekspor inilah kami berupaya membantu petani untuk mengurus sertifikasi internasionalnya," urainya.

Para petani padi organik yang tergabung dalam Koperasi Kelompok Tani Mendo Sampurno, khususnya yang menghasilkan beras merah di Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, melakukan panen perdana padi beras merah di atas lahan sekitar 20 hektare.

Selain menanam padi organik yang menghasilkan beras merah, juga ada yang menghasilkan beras putih dan beras hitam. Luas lahan pertanian padi organik di kabupaten itu saat ini mencapai sekitar 78 hektare yang tersebar di tujuh kecamatan.(*)

Pewarta: Endang Sukarelawati

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017