Surabaya, (Antara Jatim) - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), dan penulis buku "Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan" HM Sholeh Hayat mengusulkan kepada pemerintah perlunya revisi buku pelajaran sejarah yang "menggelapkan" Resolusi Jihad.

"Hari Santri Nasional itu bukan hadiah, tapi hak NU serta kewajiban pemerintah, namun pengakuan saja tidak cukup," kata pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Kacung Maridjan MA dalam bedah buku 'Kyai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan' di kampus B Unusa, Jumat.

Oleh karena itu, kata Prof Kacung yang juga salah seorang Pembantu Rektor di Unusa itu, NU bersama Unusa mengusulkan perlunya revisi buku pelajaran SD, SMP, dan SMA yang hingga tahun 2015 belum mencantumkan Resolusi Jihad 1945 yang dirumuskan para kiai pada 22 Oktober 1945.

"Resolusi Jihad itulah yang menyemangati para santri dan Arek-Arek Surabaya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, namun penjajah tidak mau mengakui dan hendak kembali menjajah, sehingga para kiai berkumpul dan mencetuskan Resolusi Jihad yang menyatakan kewajiban membela Tanah Air," tuturnya.

Hal itu dibenarkan penulis buku KH Sholeh Hayat. "Dalam buku-buku sejarah hanya menyebutkan peran Bung Tomo dalam memotivasi Arek-Arek Surabaya dengan teriakan 'Allahu Akbar...', padahal Bung Tomo itu bukan pemain tunggal, bahkan kata-kata 'Allahu Akbar' itu didapat Bung Tomo dari KHM Hasyim Asy'ari," ungkapnya.

Menurut Sholeh Hayat yang juga Wakil Ketua PWNU Jawa Timur itu, Perang 10 November 1945 itu dipicu serangkaian faktor yakni perobekan bendera merah-putih-biru menjadi merah-putih pada 19 September 1945.

Selanjutnya, Resolusi Jihad dirumuskan para kiai pada 22 Oktober 1945, lalu Bung Tomo dan kawan-kawan menemui KHM Hasyim Asy'ari pada 25 Oktober 1945, hingga akhirnya Panglima Perang Tentara Sekutu yakni Jenderal Mallaby tewas di Surabaya pada 30 Oktober 1945.

"Saya kira fakta sejarah itu tidak bisa digelapkan, karena itu saya setuju dengan usulan untuk revisi buku pelajaran sejarah, namun kita tidak perlu menunggu respons pemerintah. Kita harus jalan terus, NU perlu menggerakkan LP Maarif di Jatim dengan revisi buku dan mendirikan sejumlah monumen bersejarah terkait masa lalu itu," paparnnya.

Usulan serupa juga datang dari Rektor Unusa Prof Achmad Jazidie. "Resolusi Jihad itu masih relevan dengan zaman sekarang, karena semangat juang itu juga tetap diperlukan untuk saat ini. Bedanya, musuh bangsa Indonesia cukup jelas, tapi musuh sekarang tidak terlihat yakni pemikiran/ideologi, modal, dan kawasan sendiri," ujarnya.

Untuk itu, generasi baru NU harus mengenyam pendidikan yang bagus. "Ke depan, pemenang akan ditentukan oleh siapa yang pegang dua hal yakni pendidikan dan kesehatan, karena itu pendidikan itu sangat penting. Saya bangga mahasiswa baru Unusa sekarang ada 70 persen dari keluarga pemegang Karta-NU," tambahnya.

Dalam acara yang dihadiri Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah, Rais Syuriah PCNU Surabaya KH Sulaiman Nur, dan Ketua PCNU Dr H Muhibbin Zuhri itu, Ketua Umum Yayasan RSI Surabaya (Yarsis) Prof Ir H Mohammad Nuh DEA menyatakan Hari Santri Nasional yang dicanangkan sejak tahun 2015 itu hendaknya tidak dipahami hanya sebatas seremonial.

"Kalau hanya sebatas seremonial, maka Resolusi Jihad tidak akan memiliki makna sama sekali, karena itu para santri harus mengambil peluang melalui pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan berdaya saing," katanya dalam bedah buku yang berjumlah 192 halaman itu.(*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016