Surabaya (Antara Jatim) - Arsitek berkebangsaan Belanda yang juga konsultan cagar budaya, Cor Passchier, menilai Surabaya memerlukan Badan Otoritas Kota Tua untuk melestarikan dan merevitalisasi bangunan bersejarah.

"Kalau bisa, pemerintah memang memberikan subsidi penuh untuk semua bangunan bersejarah di kota ini, tapi banyak kota yang tidak mampu melakukan, karena keterbatasan anggaran, sehingga kasus perusakan bangunan cagar budaya justru terjadi," katanya di Surabaya, Selasa.

Dalam peluncuran bukunya bertajuk "Building in Indonesia 1600-1960" di Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya, ia menjelaskan Badan Otoritas Kota Tua itu sudah dilaksanakan pada beberapa negara, termasuk Jakarta yang sudah memilikinya.

"Badan itu terbukti sukses, karena badan yang dibentuk pemerintah dengan kesepakatan tertentu itu melibatkan swasta murni," katanya, didampingi Dekan Teknik Sipil dan Perencanaan UK Petra, Timoticin Kwanda BSc MRP PhD.

Menurut peneliti arsitektur dan perencanaan kota di Indonesia itu, Badan Otoritas Kota Tua itulah yang melakukan perencanaan dan penataan bangunan bersejarah, termasuk melakukan desain ulang dengan tidak mengubah bentuk aslinya.

"Intinya, badan khusus itu bisa membeli bangunan cagar budaya itu dari pemiliknya, lalu memperbaiki dan menatanya, bisa juga dengan menawarkan kepada swasta dengan perjanjian yang ketat, misalnya untuk menambah restoran, parkir, sanitasi, dan rekayasa lalu lintas," katanya.

Dalam penelitiannya yang ditulis dalam buku karyanya itu, ia menyebut ada lima kota kolonial di Indonesia yang mendapat "sentuhan" arsitektur Belanda yakni Betawi, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan.

"Betawi merupakan kota lama, sedangkan Bandung merupakan kota baru di dataran tinggi. Surabaya, Makassar, dan Medan sebagai kota pelabuhan yakni Makassar di timur, Medan di barat, dan Surabaya di tengah," katanya.

Peninggalan Belanda di Indonesia itu memiliki dampak penting bagi Belanda dan Indonesia. "Bagi Belanda, bangunan di Indonesia akan menjadi histori, sedangkan bagi Indonesia akan menjadi referensi untuk melestarikan, membangun baru, atau malah menggantinya dengan bangunan berarsitektur kebarat-baratan," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah pada kelima kota kolonial itu harus memiliki sikap yang tegas, apakah melestarikan atau menggantikan. "Kalau mau, Jakarta merupakan contoh yang memilih melestarikan dan sukses dengan badan khusus yang menangani," katanya.

Dalam buku hasil risetnya itu, Cor Passchier menyajikan foto lama dan baru dari sejumlah bangunan bersejarah pada lima kota kolonial itu, diantaranya Pelabuhan Kalamata Ternate pada era VOC (1540), Benteng Ambon, Museum Betawi dan Gudang Timur Kota Tua Jakarta (1700-an), dan Benteng Pendem Cilacap.

Selain itu, Grahadi Surabaya (1805), Javasche Bank Surabaya (1911-1912), Tunjungan-Toko Metro (1950), Hotel Majapahit (1910), Kantor Gubernuran Jatim (1931), Balai Kota Surabaya (1927), MULO/SMP Petra Embong Wungu Surabaya (1926), peta pembangunan Anyer-Panarukan, dan sebagainya.

"Dasar dan pengembangan kota kolonial itu bukan hasil dari perencanaan terpusat, melainkan tergantung pada berbagai keadaan yang unik, seperti kekuasaan lokal, pertimbangan kekuatan militer, lokasi geografis, dan infrastruktur," katanya tentang buku berbahasa Inggris itu.

Secara terpisah, Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia, Freddy H Istanto, menyatakan pihaknya telah merespons dirata-tanahkannya bangunan cagar budaya (BCB) Jalan Mawar 10-12 Surabaya bersama BPPI atau Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (Ari Catrini), DPRD (Vincentius Awey), dan Madya atau Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (Jhohannes Marbun) untuk menyurati pemerintah kota dan pusat.

"Kami juga bergabung dalam Petisi Online dengan koordinasi Adrian Perkasa (Indonesian Heritage Trust) dan Surat Keprihatinan Kasus Mawar 10-12 Surabaya yang ditembuskan kepada Dirjen Kebudayaan, Kepala BPCB Jatim, Ketua DRPD Kota Surabaya, Ketua Presidium Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI), dan Wali Kota Surabaya," katanya.

Dalam surat itu, pihaknya merasa malu karena sudah dua BCB musnah selama kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini. "Kami masih punya harapan dengan Jalan Mawar 12 yang belum dibongkar, karena warga sekitar bernama Yatim mengaku juga menemukan kabel radio di Jalan Mawar 12," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016