Surabaya (Antara) - Ketua MPR Zulkifli Hasan menegaskan bahwa "palu arit" sebagai lambang komunis di tanah kelahiran ideologi itu di Eropa Timur sudah menjadi suvenir (cenderamata).

"Di negara aslinya sudah jadi suvenir, bukan ideologi lagi, karena kaos atau barang-barang berlogo palu arit itu sudah langka," katanya dalam Dialog Empat Pilar Kebangsaan di Aula Garuda Mukti, Unair Surabaya, Kamis.

Oleh karena itu, ia berharap masyarakat untuk tidak bersikap reaktif menyikapi kasus "palu arit" akhir-akhir ini, karena "palu arit" sebagai ideologi sudah ditinggalkan di Eropa Timur.

"Jangan berlebihan, karena urusan kita juga banyak, kesejahteraan masyarakat, korupsi, darurat narkoba," katanya dalam dialog yang juga menampilkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Rektor Unair Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., sebagai narasumber.

Dalam acara yang dihadiri ratusan mahasiswa, Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan, dan sejumlah anggota MPR Dapil Jawa Timur, seperti Eko Patrio, itu, ia mengingatkan kemungkinan ideologi komunis bangkit kembali perlu diwaspadai dengan penerapan Pancasila dalam kehidupan.

"Tahun 1960-an, Bung Karno sudah berpidato di hadapan Sidang Umum PBB. Beliau menyatakan kami tidak ikut ideologi Barat (kapitalimes/liberalisme) dan Timur (sosialisme/komunisme), kami mempunyai ideologi negara sendiri yakni Pancasila," katanya.

Setiba di Tanah Air, Bung Karno ditanya tentang Pancasila itu. "Kalau disimpulkan dalam satu kata, Pancasila adalah kasih sayang. Kalau dirinci dalam beberapa kata, Pancasila adalah kasih sayang, kekeluargaan, gotong rotong, dan musyawarah untuk mufakat," katanya, mengutip pernyataan Bung Karno.

Ketua Umum DPP PAN itu mencontohkan musyawarah mufakat dalam peresmian jembatan oleh Bupati Bojonegoro pada beberapa waktu lalu yang merupakan salah satu hasil musyawah mufakat.

"Dengan musyawarah mufakat, penduduk yang memiliki tanah pada dua daerah yang dihubungkan jembatan secara sukarela menyerahkan tanahnya, tanpa minta ganti rugi. Kenapa itu bisa terjadi? Itu karena musyawarah mufakat itu memang asli Indonesia," katanya.

    
Gerakan Kemanusiaan

Selain Pancasila, pilar kebangsaan lainnya yang penting adalah Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. "Bhinneka Tunggal Ika itu keniscayaan bahwa kita memang berbeda-beda karena ada ribuan etnis, ratusan bahasa, tradisi, dan sebagainya. Justru keragaman itu dapat menjadi sumber kekuatan dan kreativitas," katanya.

Terkait NKRI, Zulkifli Hasan menyebutkan Indonesia sebagai negara kesatuan itu memberi peluang siapapun untuk hidup dimanapun dengan hak yang sama.

"Contoh gampangnya, Presiden Joko Widodo itu kelahiran Surakarta, tapi dia bisa menjadi Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden," katanya.

Mengenai UUD 1945, ia menyatakan ada dua hal penting yakni sistem bernegara dan sistem ekonomi. "Untuk sistem bernegara, kita sudah sepakat dengan demokrasi. Artinya, kedaulatan itu di tangan rakyat dan pejabat (eksekutif, legislatif, yudikatif) adalah pelayan," katanya.

Untuk sistem ekonomi, Indonesia mengenal ekonomi kerakyatan. "Artinya, semua yang ada di Bumi Indonesia adalah untuk kemakmuran rakyat, namun kita memang masih menghadapi masalah keadilan," katanya.

Untuk mengembalikan Empat Pilar Kebangsaan itu menjadi perilaku sehari-hari, ia mengatakan MPR bersama Presiden sepakat untuk "meluruskan" penyimpangan Empat Pilar itu melalui GBHN agar siapapun pemimpin Indonesia dan situasi otonomi pun tetap mengacu pada GBHN.

Dalam dialog itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyoroti perlunya keteladanan pemimpin agar masyarakat yang dipimpinnya tidak mudah menyalahkan pihak lain atau bahkan memusuhi saudara sebangsa, baik secara riil seperti suporter sepakbola maupun secara maya seperti percakapan dalam media sosial.

"Jangan mudah menyalahkan orang, karena orang yang menyalahkan itu bisa berbuat apa? Yang penting kita bergerak dan untuk bergerak itu kita perlu bergandengan tangan. Untuk itu, saya mengajari anak-anak Surabaya melakukan gerakan kemanusiaan," katanya.

Sementara itu, Rektor Unair Prof Nasih menilai perlunya ideologi Pancasila diterjemahkan dalam ekonomi agar tidak sampai ada disparitas dan tidak sebanding. Disparitas terjadi karena 80 persen miskin, lalu kemiskinan juga tidak sebanding karena 70 persen hidup di bawah rata-rata. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016