Tulungagung (Antara Jatim) - Angka kematian kasus gagal ginjal kronis di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur rata-rata mencapai lima orang per bulan, mengacu data rekap medik di ruang hemodialisa (cuci darah) RSUD dr Iskak, Tulungagung.
"Angka kematian bisa jadi lebih besar. Namun jika mengacu data yang ada di kami, rata-rata antara 5-10 pasien gagal ginjal kronis yang meninggal setiap bulannya," kata Kepala Ruang Hemodialisa RSUD dr Iskak, Tulungagung, Tuhu Suwito di Tulungagung, Jumat.
Suwito tidak menjelaskan detail penyebab pasien gagal ginjal kronis tidak tertolong, meski telah menjalani program cuci darah secara rutin.
Selain memang kondisi penyakit yang memang sudah akut, kata dia, munculnya penyakit lain serta ketidakkonsistenan pasien dalam melakukan kontrol serta cuci darah menjadi penyebab utama kematian kasus gagal ginjal kronis.
Lebih buruk, sebagaimana keterangan sumber dari keluarga pasien, kasus kematian gagal ginjal kronis dipengaruhi keterbatasan sarana layanan cuci darah di daerah tersebut.
Jumlah penderita gagal ginjal kronis jauh lebih besar dibanding kapasitas maksimal layanan hemodialisis (cuci darah) di RSUD dr Iskak, Tulungagung.
Dari total kasus penyakit ginjal serta gagal ginjal kronis yang ditaksir mencapai 1.500 orang lebih sebagaimana data rekap medik RSUD dr Iskak, hanya 152 pasien yang bisa tertampung di layanan ruang hemodialisa RSUD dr Iskak.
Selebihnya, kata dokter spesialis penyakit dalam RSUD dr Iskak, dr Rina Melinda, mayoritas pasien gagal ginjal kronis harus mencari layanan cuci darah di rumah sakit lain di luar daerah.
"Bagi yang mampu, sekalipun itu berat karena biaya sekali cuci darah minimal Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta, mungkin masih bisa dilakukan. Tapi bagi penderita yang berasal dari keluarga tidak mampu, tentu tidak punya pilihan lain selain pasrah," tutur David, warga Boyolangu mengeluhkan.
Pihak RSUD dr Iskak sendiri mengakui sudah kewalahan melayani permintaan cuci darah pasien gagal ginjal kronis.
Terus bertambahnya jumlah penderita yang memicu tidak berimbangnya antara pasien yang berhenti melakukan terapi cuci darah dengan pasien baru menyebabkan banyak penderita tidak terlayani.
Faktor utama yang menyebabkan RSUD dr Iskak kewalahan, kata Suwito, adalah karena ketersediaan mesin cuci darah yang masih sangat terbatas.
Hingga saat ini, kata dia, jumlah alat hemodialisis atau perangkat cuci darah pengganti fungsi ginjal di klinik/ruang hemodialisa RSUD dr Iskak Tulungagung hanya 18 unit.
Itupun menurut Tuhu Suwito yang efektif digunakan rutinitas untuk melayani pasien gagal ginjal kronis hanya 17 unit, sementara satu unit sisanya digunakan khusus untuk melayani pasien kasus kedaruratan (emergency).
"Jumlah pasien baru yang masuk dengan yang berhenti berobat, baik karena meninggal ataupun pindah perawatan faktanya tidak berimbang. Pasien baru per bulan rata-rata 20-30 orang, sementara pasien yang berhenti berobat rata-rata hanya lima orang per bulan," papar Tuhu Suwito.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
"Angka kematian bisa jadi lebih besar. Namun jika mengacu data yang ada di kami, rata-rata antara 5-10 pasien gagal ginjal kronis yang meninggal setiap bulannya," kata Kepala Ruang Hemodialisa RSUD dr Iskak, Tulungagung, Tuhu Suwito di Tulungagung, Jumat.
Suwito tidak menjelaskan detail penyebab pasien gagal ginjal kronis tidak tertolong, meski telah menjalani program cuci darah secara rutin.
Selain memang kondisi penyakit yang memang sudah akut, kata dia, munculnya penyakit lain serta ketidakkonsistenan pasien dalam melakukan kontrol serta cuci darah menjadi penyebab utama kematian kasus gagal ginjal kronis.
Lebih buruk, sebagaimana keterangan sumber dari keluarga pasien, kasus kematian gagal ginjal kronis dipengaruhi keterbatasan sarana layanan cuci darah di daerah tersebut.
Jumlah penderita gagal ginjal kronis jauh lebih besar dibanding kapasitas maksimal layanan hemodialisis (cuci darah) di RSUD dr Iskak, Tulungagung.
Dari total kasus penyakit ginjal serta gagal ginjal kronis yang ditaksir mencapai 1.500 orang lebih sebagaimana data rekap medik RSUD dr Iskak, hanya 152 pasien yang bisa tertampung di layanan ruang hemodialisa RSUD dr Iskak.
Selebihnya, kata dokter spesialis penyakit dalam RSUD dr Iskak, dr Rina Melinda, mayoritas pasien gagal ginjal kronis harus mencari layanan cuci darah di rumah sakit lain di luar daerah.
"Bagi yang mampu, sekalipun itu berat karena biaya sekali cuci darah minimal Rp750 ribu hingga Rp1,5 juta, mungkin masih bisa dilakukan. Tapi bagi penderita yang berasal dari keluarga tidak mampu, tentu tidak punya pilihan lain selain pasrah," tutur David, warga Boyolangu mengeluhkan.
Pihak RSUD dr Iskak sendiri mengakui sudah kewalahan melayani permintaan cuci darah pasien gagal ginjal kronis.
Terus bertambahnya jumlah penderita yang memicu tidak berimbangnya antara pasien yang berhenti melakukan terapi cuci darah dengan pasien baru menyebabkan banyak penderita tidak terlayani.
Faktor utama yang menyebabkan RSUD dr Iskak kewalahan, kata Suwito, adalah karena ketersediaan mesin cuci darah yang masih sangat terbatas.
Hingga saat ini, kata dia, jumlah alat hemodialisis atau perangkat cuci darah pengganti fungsi ginjal di klinik/ruang hemodialisa RSUD dr Iskak Tulungagung hanya 18 unit.
Itupun menurut Tuhu Suwito yang efektif digunakan rutinitas untuk melayani pasien gagal ginjal kronis hanya 17 unit, sementara satu unit sisanya digunakan khusus untuk melayani pasien kasus kedaruratan (emergency).
"Jumlah pasien baru yang masuk dengan yang berhenti berobat, baik karena meninggal ataupun pindah perawatan faktanya tidak berimbang. Pasien baru per bulan rata-rata 20-30 orang, sementara pasien yang berhenti berobat rata-rata hanya lima orang per bulan," papar Tuhu Suwito.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016