Banyuwangi (Antara Jatim) - Bupati terpilih Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyatakan mendukung upaya pengentasan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan atau penerapan indeks kemiskinan multidimensi (IKM).

Anas saat dihubungi di Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis mengatakan bahwa IKM tidak hanya melihat kemiskinan dari dimensi ekonomi atau pendapatan saja. Lebih jauh dari itu, ada tiga dimensi lain yang diukur, yaitu pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup.

"Di dalamnya ada berbagai indikator, mulai dari kepemilikan aset, tingkat pendidikan, akses pendidikan prasekolah, hingga sanitasi," ujarnya.

Menurut dia, IKM itu cukup kompleks, namun relevan dalam memotret problem daerah, terutama untuk kabupaten yang problemnya relatif lebih rumit dan kompleks.

"Jadi IKM ini bisa kita jadikan bekal berbarengan dengan pengukuran dari Badan Pusat Statistik atau BPS. Ini menjadi tantangan bagi kepala daerah untuk lebih giat lagi, mengingat dimensi pengukuran kemiskinan menjadi semakin luas," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa penerapan IKM relevan untuk menyelesaikan masalah sosial-ekonomi masyarakat secara komprehensif. IKM yang dikembangkan dari "Oxford Poverty and Human Development Initiative" (OPHI) Universitas Oxford, Inggris, kini menjadi salah satu metode pengukuran kemiskinan yang bisa melengkapi metode yang selama ini telah digunakan BPS.

Metode IKM di Indonesia, kata dua, diperkenalkan di Jakarta, Rabu (10/2). Pengukuran indeks ini didorong oleh lembaga Perkumpulan Pakarsa di mana modelnya digawangi oleh OPHI Universitas Oxford.

Anas yang hadir dalam pengenalan IKM itu mengatakan, data sangat penting dalam penyusunan program pembangunan. Data yang presisi menjanjikan program yang tepat sasaran dan untuk menerapkan penghitungan IKM di Banyuwangi, Anas bakal menggandeng sejumlah pihak sehingga bisa dilakukan pendataan yang terukur.

"Kemarin kami diberi kesempatan bertemu teman-teman peneliti, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Kementerian Sosial. Alhamdulillah, mereka dukung Banyuwangi," kata alumnus program studi singkat ilmu kepemerintahan di Harvard Kennedy School of Government, Amerika Serikat, tersebut.

Anas menambahkan, kemiskinan memang bukan semata-mata soal aspek ekonomi saja, tapi berhubungan dengan berbagai dimensi. Dia mencontohkan, pendapatan per kapita Banyuwangi yang meningkat 62 persen dari Rp20,8 juta (2010) per orang per tahun menjadi Rp33,6 juta (2014) berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Indikator ekonomi tersebut perlu dilengkapi dengan indikator lain.

"Capaian pendapatan itu kan secara kuantitatif. Saya kira ini perlu ditelaah aspek kualitatifnya, mulai dari pemerataannya hingga dimensi lainnya," ujarnya.

Dengan pendekatan multidimensi, katanya, akan tersaji informasi yang lebih spesifik, sehingga bisa menciptakan kebijakan yang lebih relevan dan tepat sasaran. Misalnya, di dalam IKM ada dimensi pendidikan, salah satunya soal pendidikan prasekolah. Ada warga yang mungkin secara ekonomi sudah mampu, namun tak mengirimkan anaknya ke pendidikan prasekolah karena berbagai alasan, seperti lokasi yang jauh.

"Informasi spesifik ini membuat arah kebijakan menjadi terarah. Misalnya dengan memanfaatkan posyandu sekaligus menjadi tempat pendidikan anak usia dini (PAUD). Saat ini di Banyuwangi baru ada 275 taman posyandu yang punya PAUD. Padahal total ada lebih dari 2.000 posyandu. Ini ke depan akan kami tingkatkan karena posyandu letaknya relatif menyebar, sehingga warga mudah mengaksesnya. Dengan demikian, makin banyak warga yang mengirim anaknya ke pendidikan prasekolah," ujar Anas.

Ia mencontohkan lagi adanya indikator melek huruf dalam pengukuran kemiskinan multidimensi. Di Banyuwangi, tingkat buta huruf sudah berhasil ditekan dari 13,34 persen menjadi 2,9 persen.

"Gerakan pemberantasan buta aksara ini akan terus digenjot," ujarnya. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016