Jombang (Antara Jatim) - Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) sudah digelar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur dengan mengusung tema "Islam Nusantara" pada 1-5 Agustus 2015.

Walaupun sudah berakhir, muktamar ini masih menyisakan sejumlah masalah atau pekerjaan rumah (PR), diantaranya gugatan hasil muktamar.

Dalam muktamar tersebut, sejumlah kader dijagokan maju dan dinilai layak memimpin PBNU untuk lima tahun ke depan.

Mereka adalah KH Said Aqil Siradj, yang merupakan Ketua Umum PBNU periode 2010-2015 serta KH Shalahudin Wahid yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Pertarungan keduanya terbilang sengit dan kompleks, namun pertarungan lebih masuk ke dalam materi, bukan secara fisik.

Karut marut pertarungan mulai merasuk sedari proses pendaftaran, pembahasan tata tertib, sampai pada proses pemilihan.

Bahkan panitia terkesan memaksakan peserta menyetor sembilan nama calon anggota ahlul halli wal aqdi (AHWA) atau peserta pemilihan tidak langsung untuk Rais Aam.

Hasilnya, selama perhelatan muktamar tidak fokus dalam pembahasan tentang program selama lima tahun ke depan, termasuk tema "Islam Nusantara".

Mereka lebih fokus dan berdebat soal menerima atau menolak mekanisme AHWA, sehingga muktamar menjadi tidak kondusif, karena beberapa kali sidang terpaksa ditunda akibat situasi tidak terkendali.

Di tengah suasana yang karut marut tersebut, Pejabat Sementara Rais Aam PBNU KH Achmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus ini pun turun tangan.

Kiai yang menjadi Pejabat Sementara Rais Aam PBNU pascawafatnya KHM Ahmad Sahal Mahfudh itu menangis haru di depan para jamaah, karena sedih melihat perilaku muktamirin yang dinilainya sudah melenceng dari perilaku akhlak mulia.

Setelah pidato Gus Mus yang mengharukan, akhirnya kegiatan muktamar bisa dilanjutkan lagi, namun kegaduhan muktamar ternyata belum selesai.

Sebagian utusan wilayah dan cabang menganggap proses persidangan cacat secara prosedural. Salah satunya, karena saat registrasi tidak semua utusan menyetor sembilan nama calon anggota AHWA.

Anehnya, saat persidangan, ternyata telah muncul sembilan nama teratas calon AHWA hasil tabulasi panitia yang dilakukan bukan di depan peserta. Hal ini menimbulkan kecurigaan.

Apalagi, hasil voting AHWA cukup tipis, karena pihak yang menyetujui AHWA ditentukan oleh dukungan satu utusan wilayah dan 29 cabang di Papua.

Bahkan, saat sidang pleno membahas hasil komisi organisasi yang menyepakati aturan peralihan di dalam AD/ART bahwa mekanisme AHWA baru bisa diterapkan di muktamar berikutnya, langsung bisa dianulir oleh pimpinan sidang pleno tanpa menunggu persetujuan muktamirin.

Alhasil, proses pemilihan dengan menggunakan sistem AHWA tetap dilakukan di Muktamar Jombang, meski terkesan "direkayasa".

    
Syarat kepentingan

Sejumlah muktamirin dan tokoh NU menilai Muktamar ke-33 NU di Jombang itu syarat dengan kepentingan.

Salah seorang Rais Syuriah PBNU KH Hasyim Muzadi menyoroti ideologi non-ahlus sunnah wal jamaah sedang menggerogoti NU dari dalam yangberasal dari ajaran Wahabi, Syiah, liberal sampai kelompok kiri.

Selain itu, adanya dugaan keterlibatan partai politik juga dinilai sangat kental. Dalam hal ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dituding partai yang paling terlibat.

Bahkan, Pengasuh PP Tebuireng, Jombang, KH Shalahudin Wahid, secara terang-terangan menyebut ada pihak tertentu yang menawarkan imbalan berupa sejumlah uang pada muktamirin, untuk memilih calon Ketua Umum PBNU dan Rais Aam.

Gus Sholah pun mengaku prihatin dengan sikap para petinggi PBNU yang terkesan membiarkan orang yang sengaja disusupkan saat proses persidangan sebagai peninjau untuk mempengaruhi opini peserta muktamar. "Ini Muktamar NU atau PKB," kata Gus Sholah saat itu.

Namun, berbagai isu itu tidak menggagalkan muktamar dan terus berlangsung hingga akhirnya KH Said Aqil Siradj terpilih kembali dalam muktamar tersebut sebagai Ketua Umum PBNU 2015-2020.

KH Mustofa Bisri juga kembali ditetapkan menjadi Rais Aam PBNU periode 2015-2020. Ditetapkannya Gus Mus sebagai pemimpin tertinggi NU itu adalah hasil dari musyawarah yang dilakukan oleh sembilan kiai yang tergabung dalam AHWA.

Namun, dalam prosesnya Gus Mus justru mundur dari jabatan yang baru diamanatkan padanya dan jabatan tersebut akhirnya digantikan oleh KH Makruf Amin.

Keputusan pengunduran diri tersebut disampaikan oleh Gus Mus melalui surat yang diterima langsung oleh Pimpinan Sidang Pleno Penetapan Rais Aam dan Pemilihan Ketua Umum PBNU, Ahmad Muzakki.

Pascaterpilihnya Ketua Umum PBNU serta Rais Aam, membuat sejumlah pengurus cabang dan wilayah yang sudah tidak sepakat dengan jalannya sidang meradang.

Mereka berkumpul di PP Tebuireng, Kabupaten Jombang, dan mendesak agar diadakan muktamar tandingan, namun emosi dari para pengurus cabang dan wilayah itu disikapi dengan tenang oleh KH Hasyim Muzadi dan Gus Sholah.

Keduanya tidak ingin NU pecah dan tidak ingin ada NU tandingan. Desakan untuk mengadakan NU tandingan diabaikan dan mereka justru meredam emosi muktamirin dengan menyarankan agar menempuh jalur hukum.

Pemerhati Nahdlatul Ulama Aan Anshori menilai Muktamar ke-33 NU di Kabupaten Jombang, sebagai muktamar yang terberat pascareformasi, sebab di dalamnya ada berbagai kejadian yang menimbulkan pertentangan.

"Ini muktamar yang paling berat pascareformasi. Ada silang soal muktamar ini dan memang ada keinginan dari banyak kelompok yang ingin memaksakan AHWA (ahlul halli wal aqdi)," kata Aan.

Menurut Ketua Jaringan Alumni Santri Jombang (JAS Ijo) itu, adanya kelompok yang ingin memaksakan model pemilihan AHWA turut memperkeruh pelaksanaan muktamar.

"Seharusnya penerapan AHWA harus dimulai dengan perubahan dalam AD/ART organisasi, tapi nyatanya ada kesan dipaksakan, sehingga situasi memanas," katanya.  

Aan prihatin jika adanya masalah ini menjadi pemicu keretakan di tubuh NU sendiri. Dengan adanya masalah tersebut, justru NU yang akan dirugikan, karena sibuk konsolidasi internal, padahal banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

    
Membesarkan NU

Saat ini, Muktamar ke-33 NU sudah usai dan sudah terpilih pengurus yang baru. Sesuai dengan isu yang merebak sebelum pelaksanaan muktamar, adanya dugaan keterlibatan anggota partai, ternyata terbukti dengan masuknya sejumlah kader partai dalam kepengurusan PBNU.  

Proses yang mematikan kaderisasi NU itu akhirnya menyisakan sejumlah persoalan. Kubu Gus Sholah juga tidak mengakui hasil muktamar yang berlangsung di alun-alun Kabupaten Jombang tersebut, serta mendukung gugatan.

Proses gugatan masih terus berlangsung sampai saat ini. Bahkan, Gus Sholah juga membuat sebuah buku putih tentang muktamar hitam.

Bahkan, saat haul ke-5 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di PP Tebuireng, Kabupaten Jombang (27/12) yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla pun, Gus Sholah pun masih mengungkit soal konflik yang terjadi dalam muktamar.

"Mbah Hasyim meminta para santrinya berkhidmat pada NU, mengabdi pada NU untuk memberi manfaat pada NU, bukan mengambil manfaat pada NU," katanya.

Ia mengatakan pendiri NU yang terdiri dari KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbulloh, dan KH Bisri Syansuri selalu mengajarkan kejujuran dan keikhlasan. Hal itu juga terlihat pada Gus Dur.

Kedepan, ia berharap NU menjadi lebih baik dan pihak yang memanfaatkan NU untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok dibukakan pintu hatinya untuk bisa memperbaiki diri.

Seolah-olah, harapan "perbaikan" itu pula yang ditujukan kepada duet kepemimpinan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dan Rais Aam PBNU KH Makruf Amin dalam menjalankan tugasnya.

Harapan "perbaikan" itu juga menjadi harapan warga NU yang kini menunggu berbagai program serta kebijakan duet dua pimpinan tersebut.

Bahkan, kedua pimpinan PBNU itu harus menyamakan pandangan dalam masalah hubungan Islam dan negara, ekonomi syariah, sertifikat halal, termasuk BPJS, mengingat posisi KH Ma'ruf Amin saat memimpin MUI memiliki pandangan berbeda dengan PBNU dalam masalah-masalah itu.

Perbaikan internal dan penyamaan pandangan itu bukan hanya penting, tapi mendesak, mengingat pekerjaan besar sudah berada di depan mata.

Pekerjaan besar itu seperti yang disampaikan Gus Sholah adalah membesarkan NU yang kini "diserang" kelompok ideologis asing dari segala penjuru, seperti Al-Qaeda, ISIS, Wahabi, HTI, dan sebagainya, termasuk kelompok "kiri".

Ya, NU sudah dinanti kiprahnya oleh masyarakat dunia untuk "menginternasionalkan" ajaran Islam yang "Rahmatan lil Alamin" itu.

Hal itu juga sesuai dengan tema muktamar, yakni Meneguhkan Islam Nusantara. Meski tema itu kurang dibahas dalam muktamar, namun NU harus mampu meneguhkan Islam di Nusantara. (*)

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015