Surabaya (Antara Jatim) - Praktisi hukum yang pernah menjadi penasihat hukum mantan Menteri BUMN
Dahlan Iskan, M. Erick Antariksa SH, menilai status rekaman CCTV dengan
rekaman oleh Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin itu
sama.
"SN Berkelit itu wajar saja. Dia kan sedang jadi teradu, sedang duduk sebagai pesakitan. Dalam sidang peradilan pidana itu, seorang terdakwa diberi hak untuk ingkar, hak untuk berbohong, membual, juga berkhayal sesuka hatinya. KUHP memberi hak itu bagi para terdakwa," katanya kepada Antara di Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi sidang pertama dan kedua MKD yang mendengarkan keterangan Menteri ESDM Sudirman Said dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin yang berlangsung terbuka, namun sidang MKD yang mendengarkan keterangan Setya Novanto (7/12) justru berlangsung secara tertutup.
"Jadi suka-suka terdakwa-lah untuk berkata seenak perutnya di muka persidangan. Tapi, hal yang tidak wajar itu kalau dalil pembelaan SN tentang rekaman dalam kasus itu justru diamini majelis sidang MKD. Itu sangat tidak wajar, karena dalil pembelaan SN itu tidak benar dan tidak sesuai nalar," katanya.
Ia mengingatkan bahwa hukum itu tetap harus selalu dibangun sesuai dengan nalar dan akal sehat.
"Kalau dalil pembelaan SN yang tidak benar itu diterima dan diamini, maka hal itu akan jadi preseden buruk bagi penegakan hukum Indonesia," katanya.
Terkait legalitas rekaman Dirut PT Freeport yang dipersoalkan SN, sehingga tidak bisa menjadi alat bukti, ia menegaskan bahwa selama ini perekaman secara diam-diam sudah berkali-kali dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan peradilan pidana di Indonesia.
"Coba lihat, berapa banyak rekaman CCTV yang telah dijadikan alat bukti di persidangan? Banyak sekali kan? Apa bedanya rekaman CCTV di mal, bank, hotel, gedung perkantoran, dengan rekaman oleh Pak Maroef Sjamsoeddin? Sama saja kan? Sama-sama masyarakat biasa dan tanpa seizin orang direkam. Sama saja kan?," katanya.
Dengan posisi itu, ia mempertanyakan status rekaman CCTV yang boleh dijadikan alat bukti tapi rekaman Pak Maroef Sjamsoeddin justru tidak boleh.
"Lucu kan? Tidak sesuai nalar dan akal sehat? Kalau itu diterima dan diamini, maka sikap MKD yang tidak wajar. Rekaman milik pak Maroef Sjamsuddin itu bersifat legal, sama sekali tidak melanggar hukum," katanya.
Bahkan, ia juga menilai sangat lucu bila rekaman itu dinyatakan melanggar UU ITE. Perekaman yang dilakukan Maroef Sjamsuddin tidak dilakukan dengan cara menyadap. Tidak dilakukan dengan cara mengintersepsi percakapan yang dilakukan lewat alat komunikasi elektronik.
"Jadi, UU ITE tidak bisa dibawa-bawa untuk menyatakan rekaman pak Maroef ilegal, apalagi melanggar hukum. Kalau pun mau menggunakan Undang-undang untuk menjerat rekaman Maroef, gunakanlah Undang-undang mengenai hak cipta dan karya cipta," katanya.
Dalam UU Hak Cipta dan Karya Cipta itu, katanya, ada larangan untuk menyebarluaskan rekaman tanpa izin tertulis dari orang yang direkam. Tapi dengan catatan, harus bisa dibuktikan kalau penyebarannya dilakukan demi keuntungan ekonomi. "Nah, Maroef Sjamsuddin tidak melakukan itu," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"SN Berkelit itu wajar saja. Dia kan sedang jadi teradu, sedang duduk sebagai pesakitan. Dalam sidang peradilan pidana itu, seorang terdakwa diberi hak untuk ingkar, hak untuk berbohong, membual, juga berkhayal sesuka hatinya. KUHP memberi hak itu bagi para terdakwa," katanya kepada Antara di Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi sidang pertama dan kedua MKD yang mendengarkan keterangan Menteri ESDM Sudirman Said dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin yang berlangsung terbuka, namun sidang MKD yang mendengarkan keterangan Setya Novanto (7/12) justru berlangsung secara tertutup.
"Jadi suka-suka terdakwa-lah untuk berkata seenak perutnya di muka persidangan. Tapi, hal yang tidak wajar itu kalau dalil pembelaan SN tentang rekaman dalam kasus itu justru diamini majelis sidang MKD. Itu sangat tidak wajar, karena dalil pembelaan SN itu tidak benar dan tidak sesuai nalar," katanya.
Ia mengingatkan bahwa hukum itu tetap harus selalu dibangun sesuai dengan nalar dan akal sehat.
"Kalau dalil pembelaan SN yang tidak benar itu diterima dan diamini, maka hal itu akan jadi preseden buruk bagi penegakan hukum Indonesia," katanya.
Terkait legalitas rekaman Dirut PT Freeport yang dipersoalkan SN, sehingga tidak bisa menjadi alat bukti, ia menegaskan bahwa selama ini perekaman secara diam-diam sudah berkali-kali dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan peradilan pidana di Indonesia.
"Coba lihat, berapa banyak rekaman CCTV yang telah dijadikan alat bukti di persidangan? Banyak sekali kan? Apa bedanya rekaman CCTV di mal, bank, hotel, gedung perkantoran, dengan rekaman oleh Pak Maroef Sjamsoeddin? Sama saja kan? Sama-sama masyarakat biasa dan tanpa seizin orang direkam. Sama saja kan?," katanya.
Dengan posisi itu, ia mempertanyakan status rekaman CCTV yang boleh dijadikan alat bukti tapi rekaman Pak Maroef Sjamsoeddin justru tidak boleh.
"Lucu kan? Tidak sesuai nalar dan akal sehat? Kalau itu diterima dan diamini, maka sikap MKD yang tidak wajar. Rekaman milik pak Maroef Sjamsuddin itu bersifat legal, sama sekali tidak melanggar hukum," katanya.
Bahkan, ia juga menilai sangat lucu bila rekaman itu dinyatakan melanggar UU ITE. Perekaman yang dilakukan Maroef Sjamsuddin tidak dilakukan dengan cara menyadap. Tidak dilakukan dengan cara mengintersepsi percakapan yang dilakukan lewat alat komunikasi elektronik.
"Jadi, UU ITE tidak bisa dibawa-bawa untuk menyatakan rekaman pak Maroef ilegal, apalagi melanggar hukum. Kalau pun mau menggunakan Undang-undang untuk menjerat rekaman Maroef, gunakanlah Undang-undang mengenai hak cipta dan karya cipta," katanya.
Dalam UU Hak Cipta dan Karya Cipta itu, katanya, ada larangan untuk menyebarluaskan rekaman tanpa izin tertulis dari orang yang direkam. Tapi dengan catatan, harus bisa dibuktikan kalau penyebarannya dilakukan demi keuntungan ekonomi. "Nah, Maroef Sjamsuddin tidak melakukan itu," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015