Tunis,  (Antara/Reuters) - Sebuah bom meledak dalam bus yang dipenuhi pengawal kepresidenan Tunisia di ibukota, Tunis, Selasa dan menewaskan setidaknya 12 orang, dalam serangan yang kemungkinan dilakukan oleh pengebom bunuh diri.

Ambulans segera melarikan korban cidera dari lokasi kejadian dan pasukan keamanan menutup jalan di sekitar Mohamed V Avenue, salah satu jalan utama di Tunis, sebelum presiden menyatakan jam malam di kota itu dan memberlakukan status darurat di seluruh negeri.

Serangan tersebut merupakan yang ketiga di Tunisia selama 2015, setelah seorang militan menewaskan 38 warga asing di sebuah hotel tepi pantai di resor Sousse pada Juni, dan pria bersenjata menewaskan 21 turis di Museum Bardo di Tunis pada Maret.

Kelompok militan IS mengaku bertanggung jawab atas kedua serangan itu.

"Mereka ingin kita hidup dengan ketakutan namun kami akan membawa ketakutan itu ke kamp-kamp teroris," kata Presiden Beji Caid Essebsi dalam pidatonya yang disiarkan stasiun televisi. "Kita berada dalam peperangan dan kita akan menang."

Pasukan keamanan mengatakan para pengawal kepresidenan menaiki bus tersebut menuju istana presiden di pinggiran kota saat bus meledak. Seorang sumber kepresidenan mengatakan bahwa kemungkinan seorang pengebom meledakkan sabuk peledaknya di dalam bus.

Setidaknya 12 pengawal tewas dan 17 lainnya cidera, menurut pernyataan Kementerian Dalam Negeri.

Jika dipastikan bahwa itu merupakan ulah pengebom bunuh diri, maka insiden tersebut akan menjadi serangan bunuh diri pertama di Tunisia sejak Oktober 2013, ketika seseorang meledakkan diri di sebuah pantai di kota wisata Sousse.

"Saya berada di Mohamed V, baru saja bersiap untuk masuk mobil, ketika terdengar ledakan hebat. Saya lihat bus itu meledak. Ada mayat dan darah dimana-mana," kata seorang warga Bassem Trifi.

Essebsi membatalkan kunjungannya ke Eropa dan mengatakan Tunis akan memberlakukan jam malam hingga Rabu pukul 5 pagi waktu setempat. Ia memberlakukan kembali status darurat yang sudah berjalan selama sebulan, sementara memberikan fleksibilitas eksekutif bagi pemerintah dan kewenangan lebih bagi pasukan keamanan, serta membatasi beberapa hak sipil.

Mohamed V merupakan jalan utama yang biasanya dipadati dengan lalu lintas dan pejalan kaki, dan merupakan lokasi berdirinya beberapa hotel dan bank.

Perlawanan terhadap kelompok militan menjadi tantangan utama bagi Tunisia, negara kecil di Afrika Utara yang dipuji atas cetak biru perubahan demokratis di kawasan itu, setelah pemberontakan pada 2011 menggulingkan otokrat Zine Abidine Ben Ali.

Tunisia telah menggelar pemilu bebas dan berjalan berdasar konstitusi baru serta konsensus politik luas, dimana partai-partai sekuler dan Islam berhasil menjembatani perbedaan yang dalam.

Namun beberapa ribu warga Tunisia juga telah meninggalkan negara itu untuk ikut bergabung dengan IS dan kelompok militan lainnya di Suriah, Irak dan Libya, serta mengancam akan melancarkan serangan di tanah air mereka.

Pihak militer juga bertempur melawan kelompok militan lain di wilayah pegunungan dekat perbatasan dengan Aljazair.

Militan di masa lalu menyerang pos-pos perbatasan dan patroli di kawasan terpencil.

Pada September, pemerintah menerima laporan intelijen mengenai kemungkinan serangan bom mobil di ibukota dan melarang lalu lintas di sebagian kota.

Pada November, pihak berwajib menahan 17 militan dan mengatakan mereka telah mencegah serangan besar selanjutnya yang direncanakan pada November terhadap hotel-hotel dan pasukan keamanan di Sousse. (*)

Pewarta: Supervisor

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015