Jember (Antara Jatim) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengakui peran negara belum optimal dalam memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia.

"Pemerintah bertugas untuk memastikan agar para buruh memperoleh rasa aman, nyaman dan murah. Namun, saya akui jika pemerintah belum memenuhi ketiga hal itu," kata Nusron saat memberikan sambutan dalam Jambore Nasional Buruh Migran Indonesia di Gedung Soetardjo Universitas Jember, Jawa Timur, Selasa.

Selama ini, lanjut dia, pemerintah masih menganggap TKI sebagai obyek, namun di sisi lain, pihak swasta dan TKI juga memiliki andil atas situasi tersebut.

"Kami meminta maaf atas belum maksimalnya upaya perlindungan TKI oleh pemerintah, padahal buruh migran memiliki nilai yang strategis bagi negara. TKI menyumbang devisa negara yang cukup besar, tahun ini ditargetkan mencapai Rp140 triliun," tuturnya.

Untuk itu, lanjut dia, BNP2TKI mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk duduk bersama dan bersinergi memberikan perlindungan terhadap nasib buruh migran melalui revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.

"Masih ada peluang untuk memperbaiki, sehingga mari duduk bersama membangun sinergi, termasuk para buruh migran memberikan masukan untuk revisi UU itu," katanya

Nusron mengatakan peta jalan (road map) untuk perlindungan TKI yang akan diusahakan oleh BNP2TKI di antaranya pemutihan yakni para buruh migran yang ilegal tidak perlu dideportasi, namun mereka dilegalisasi dengan memperpanjang izinnya dan pemutihan tersebut tergantung dari masing-masing negara.

"Selain pemutihan, juga perlu diubah model penempatan kerja para buruh migran. Selama ini perlindungan TKI lemah karena terlalu banyak dan tersebar, sedangkan jumlah aparatur negara terbatas. Kita coba buat penempatan 'one stop service' dengan melibatkan pihak ketiga atau seperti model perusahaan outsourching, sehingga jutaan TKI yang bekerja di luar negeri itu ditangani oleh pihak ketiga tersebut dengan jumlah terbatas," paparnya.

Data BNP2TKI mencatat jumlah buruh migran yang dideportasi selama 2015 sebanyak 72 ribu orang dengan jumlah terbanyak berasal dari Malaysia.

"Kami juga akan memberdayakan sebanyak 1.500 buruh migran yang dideportasi dengan memberikan pelatihan yang didampingi secara kontinyu dengan anggaran masing-masing buruh migran sebesar RP4 juta," ujarnya.

Sementara LSM Migrant Care mencatat sebanyak 1,5 juta tenaga kerja Indonesia mengalami pelanggaran hak asasi manusia di berbagai negara tujuan.
 
"Kami mencatat jumlah buruh migran pada 2014 sebanyak 6,5 juta orang dan sebanyak 1.503.000 buruh migran di antaranya mengalami pelanggaran hak asasi manusia (HAM)," kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah.(*)
     

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015