Ponorogo (Antara Jatim) - Komunitas Seniman Reog se-Jabodetabek berharap Yayasan Reog Ponorogo menggelar "workshop" dengan seluruh perwakilan peserta sebelum penyelenggaraan festival reog nasional (FRN) dalam rangkaian Grebeg Suro di Ponorogo, Jawa Timur.
    
"Idealnya workshop dilakukan agar aturan main, arah kegiatan, tujuan serta penilaian festival memiliki standar yang baku dan disepakati semua pihak," ujar Ketua Paguyuban Reog Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Catur Yudianto saat dikonfirmasi Antara melalui telepon, Rabu.
    
Menurutnya, agenda workshop jauh hari sebelum pelaksanaan gelaran FRN penting, karena hasil pembahasan rumusan kegiatan dan tata tertib yang disusun dengan melibatkan seluruh perwakilan calon peserta bisa menjadi acuan pelaksanaan festival reog nasional tersebut.
    
Tanpa adanya workshop, kata Catur, pelaksanaan FRN selama tiga tahun terakhir justru mengalami penurunan kualitas.
    
Selain tidak memiliki tema dan arah yang jelas, konsep pagelaran juga membingungkan antara kemasan sendra tari atau dilakukan penilaian secara terpisah antara masing-masing unsur tarian dalam reog.
    
"Ini bukan masalah Jakarta kalah atau apa, tapi sebagai bagian dari komunitas pecinta reog, kami ingin gelaran FRN lebih berkarakter dan memiliki standar yang jelas dan disepakati semua pihak," tegasnya.
    
Ia mengingatkan, bagi daerah-daerah di luar Ponorogo, gelaran FRN di Ponorogo merupakan tujuan akhir pembinaan reog.
    
Melalui festival reog nasional itu pula, lanjut Catur, pihaknya berharap kualitas dan kecakapan masing-masing kontingen reog antardaerah bisa saling diadu atau berkompetisi secara fair, jujur serta obyektif.
    
"Menjadi tidak ada gunanya mengikuti festival yang katanya berskala nasional, tetapi ada sebagian kontingen daerah yang menggunakan seniman 'bob-bonan' (beli pemain/grup reog) dari lokal Ponorogo. Biaya besar, tapi kualifikasi peserta dan metode penilaian tidak transparan," kritiknya.
    
Catur yang juga Kepala Bagian Pelestarian dan Pengembangan Budaya Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta itu menegaskan bahwa pihaknya, mewakili Paguyuban reog Jabodetabek, sama sekali tidak berniat protes apalagi menggugat gelaran FRN karena kalah atau tidak mendapat kejuaraan.
    
"Kami hanya merasa perlu memberikan evaluasi dan masukan agar ke depan gelaran FRN lebih berkualitas dan memiliki makna festival yang sebenarnya. Jangan asal-asalan karena biaya untuk mengikuti kegiatan seperti ini tidak sedikit, kemarin saja kami habis lebih dari Rp300 juta sekedar untuk berpartisipasi dan ikut 'nguri-uri' budaya leluhur kita ini," ujarnya.
    
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Pelaksana Festival Reog Nasional XXII di Ponorogo, Budi Satrio merespon positif segala kritik dan masukan yang masuk demi pembenahan gelaran festival reog nasional di Ponorogo.
    
"Hampir setiap gelaran FRN selalu ada kritik dan masukan dari peserta, apapaun latar belakang dan motivasinya. Bagi kami (panitia), masukan dan kritik itu positif dan akan menjadi bahan evaluasi untuk terus memperbaiki diri," ujarnya.
    
Ia menyampaikan, pengurus harian Yayasan Reog Ponorogo bersama perwakilan Dinas Pariwisata Ponorogo serta panitia pelaksana FRN telah melakukan rapat evaluasi bersama atas gelaran Festival Reog Nasional XXII di Ponorogo yang berlangsung, 7-13 Oktober lalu.
    
Hasilnya, kata dia, susunan 10 penampil terbaik dalam FRN XXII dengan menempatkan perwakilan Reog Pemkab Lamandau sebagai juara umum tidak bisa diganggu gugat karena keputusan tiga dewan juri bersifat tetap dan mengikat.
    
"Ada beberapa yang kami benahi dalam sistem penjurian dari tiga menjadi lima juri plus tiga pengamat independent. Seluruh hasil evaluasi ini akan kami laporkan ke Yayasan Reog Ponorogo dan selanjutnya kami kirimkan ke seluruh paguyuban reog luar daerah peserta FRN," terangnya.
    
Budi Satrio juga menegaskan, aturan main pelaksanaan FRN XXIII yang tahun depan yang diperkirakan berlangsung akhir September 2016 akan dibenahi dengan melibatkan seluruh perwakilan calon peserta, melalui mekanisme workshop antara Februari-Maret, atau sekitar enam bulan sebelum gelaran FRN XXIII.
    
"Kami berharap dengan penyusunan aturan main bersama tersebut bisa meminimalkan potensi ketidakpuasan (peserta) yang selalu terjadi dari tahun ke tahun," tegasnya.(*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015