Surabaya (Antara Jatim) - Tuntas sudah pemulangan haji untuk tahun 2015 dengan kedatangan Kloter 64 yang merupakan kelompok terbang (kloter) terakhir dari Debarkasi Surabaya pada 26 Oktober 2015.

Secara teknis, penyelenggaraan haji tahun 2015 dapat dikatakan relatif lebih tertib dibandingkan dengan penyelenggaraan tahun 2014, masalah yang dialami jamaah haji itu hanya berkutat pada masalah visa (surat izin masuk negara lain), robohnya "crane" (derek), dan insiden Mina yang tidak terkait langsung dengan penyelenggara di dalam negeri.

Ya, proses pemberangkatan haji di Embarkasi Surabaya sejak 21 Agustus 2015 hingga kelompok terbang (kloter) terakhir atau Kloter 64 pulang pada 26 Oktober 2015 tampaknya tidak ada "kekacauan" seperti tahun-tahun sebelumnya.

Tahun-tahun sebelumnya sempat diwarnai dengan puluhan koper besar yang penuh berisi jamu, pemalsuan belasan paspor/visa, hingga penyelundupan buku nikah ke Arab Saudi.

Namun, tahun ini, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/Debarkasi Surabaya dari jajaran Bea dan Cukai (BC) hanya menemukan satu koper berisi jamu milik calon haji asal Sumenep, Madura, 11 September 2015.

Tidak hanya jamaah haji yang relatif tertib dengan mematuhi aturan penyelenggaraan haji, namun masalah kesehatan dan penerbangan yang mengalami "delay" (tunda penerbangan) juga jauh lebih menurun.

"Kami mencatat 60 persen dari 27.323 calon haji Jatim tergolong 'risti' (risiko tinggi) secara kesehatan, meski hanya 20 persen yang risti berat, sehingga tiga calon haji batal berangkat ke Tanah Suci," kata Kabid Kesehatan PPIH Embarkasi Surabaya, dr Susanto MSH SpKP.

Ketiga calon haji yang batal berangkat akibat faktor kesehatan itu, kata dr Susanto MSH SpKP yang juga Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Perak, Surabaya itu, ada yang hamil, ada calhaj yang gila, dan ada calhaj yang pasca-operasi otak.

Pada 28 Agustus 2015, Panitia Penyelenggara Kesehatan Haji (PPKH) Embarkasi Surabaya telah memulangkan seorang calon haji (calhaj) bernama Erna Latifah Usroh (43) asal Jombang, karena diketahui hamil 4-5 minggu.

"Calhaj hamil itu boleh berangkat ke Tanah Suci, tapi kalau usia kehamilannya 14-26 minggu, sedangkan kurang atau lebih dari itu cukup rawan, karena kalau terlalu muda akan rawan keguguran, sedangkan kalau terlalu tua justru bisa melahirkan di negara orang," katanya.

Selain kesehatan, masalah penerbangan yang "delay" (tunda berangkat) pada musim haji tahun ini juga sangat menurun.

Temuan menonjol untuk pesawat "delay" dialami sebanyak 445 calon haji asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tergabung dalam Kloter 49/Embarkasi Surabaya yang tertunda hingga hampir 22 jam berangkat ke Tanah Suci.

    
Fakta Pemulangan

Fakta yang hampir mirip juga terekam saat  pemulangan, karena Bagian Pengumpulan dan Pengolahan Data PPIH Debarkasi Surabaya mencatat sepekan menjelang kloter terakhir atau Selasa (20/10) ada 86 haji asal Jatim yang wafat di Tanah Suci dan tujuh haji yang wafat di Tanah Air.

Data yang ada juga mencatat penyebab wafatnya ke-86 haji asal Jatim di Tanah Suci itu antara lain korban Tragedi Mina, Tragedi Crane, dan sakit yang umumnya respiratory disease, serangan jantung, hipertensi, dan cardiovascullar disease.

Namun, tiga dari 86 haji asal Jatim yang wafat di Tanah Suci itu belum memiliki dokumen resmi tentang kematiannya dari pihak rumah sakit maupun konsulat, kecuali sebatas informasi dari teman dalam satu kloter.

Untuk tujuh haji yang wafat di Tanah Air meliputi tiga orang meninggal di pesawat dan lainnya meninggal di Rumah Sakit Haji/Debarkasi Surabaya.

Selain itu, informasi yang diperoleh Antara menyebutkan bahwa seorang haji asal Bulakbanteng Surabaya bernama Hodri (Kloter 4) diduga terindikasi MERS, karena memiliki suhu tubuh 39 derajat.

"Kami sempat mengantisipasi dengan membawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan rontgen, namun ternyata 'suspect' TB," kata seorang petugas yang enggan disebutkan namanya.

Selain jamaah wafat dan indikasi MERS yang negatif, proses pemulangan juga ditandai dengan sejumlah asal Jawa Timur masih tertinggal di Arab Saudi karena sakit.

"Hingga kedatangan 50 dari 64 kelompok terbang (kloter) di Debarkasi Surabaya (20/10) tercatat 12 haji itu yang masih tertinggal di Arab Saudi dan umumnya karena sakit," kata Sekretaris Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Debarkasi Surabaya HM Sakur.

Menurut Sakur yang juga Kabid Haji dan Umrah Kemenag Jatim itu, jamaah haji asal Jatim semula ada 14 orang yang tertinggal di Arab Saudi, namun dua orang di antaranya sudah pulang bersama Kloter 48 pada Minggu (18/10).

"Dua haji yang dinyatakan sakit dan sudah pulang dengan Kloter 48 adalah Habib Mukri Abdurrohman (53) asal Lamongan dan Timbul Abdul Mutolib Saleh (66) asal Lumajang," katanya.

Ke-12 haji asal Jatim yang sakit dan belum pulang atau masih tertinggal di Arab Saudi akan ditunggui hingga kloter terakhir (Kloter 64) yang pulang pada Senin (26/10), namun bila belum sembuh akan diurus PPIH Arab Saudi dan Kemenag RI.

    
Antisipasi Mina
    
Kendati tidak terkait langsung dengan penyelenggaraan haji di dalam negeri, kasus Mina 2015 yang menewaskan 2.177 haji dari berbagai negara, termasuk Indonesia, agaknya perlu antisipasi pula dari pemerintah Indonesia.

Pengamat haji dari UIN Sunan Ampel Surabaya Dr KH Imam Ghazali Said MA meminta Menteri Agama mengantisipasi terulangnya Tragedi Mina dengan menempatkan petugas khusus pada sejumlah titik.

"Baik sejumlah titik di maktab untuk memantau jamaah dari Mudzalifah ke maktab, maupun sejumlah titik pada rute menuju Terowongan Mina untuk memantau jamaah yang hendak melontar Jumrah," katanya.

Menurut peneliti "Syirah Nabawiyah" itu, pemerintah Arab Saudi sebenarnya telah mengantisipasi dengan membangun Terowongan Mina hingga empat lantai yang dibedakan untuk jamaah haji Asia, Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia, bahkan Indonesia mendapat lantai khusus.

"Tapi, antisipasi itu sering tidak dipatuhi, karena jamaah tidak disiplin, sehingga terjadi insiden, karena itu solusi yang pas adalah pemerintah Indonesia perlu menyiapkan petugas haji di setiap maktab pada saat puncak haji," ucap penulis disertasi tentang "Haji Cara Rasulullah" itu.

Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya itu mengatakan hal itu memang tidak mudah, karena petugas haji yang menjaga maktab itu tidak akan berhaji.

"Tapi kalau kita tidak ingin jamaah kita menjadi korban Mina, maka hal itu perlu. Selama ini, pemerintah Arab Saudi sudah menugaskan orang untuk menjaga setiap maktab, tapi hal itu tidak efektif karena macam-macam negara," tukasnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah menyiapkan petugas sendiri, meski risikonya memang ada petugas yang tidak akan bisa berhaji, namun hal itu demi menjaga keselamatan jamaah haji Indonesia.

Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya itu menyatakan ada juga yang lebih penting bagi jamaah haji Indonesia yakni mereka perlu diberi pengertian bahwa waktu "afdhal" (utama) dalam haji itu ada dua waktu.

"Waktu afdhal dalam haji itu ada di Mudzalifah dan Jumroh Aqobah, saya sendiri sering memilih salah satu yakni di Mudzalifah, karena Jumroh Aqobah pada hari pertama itu pasti padat," tambahnya.

Anggota Syuriah PCNU Kota Surabaya itu mengatakan waktu afdhal di Mudzalifah adalah bermalam hingga Subuh, sedangkan waktu afdhal dalam Jumroh Aqobah itu sejak Subuh hingga Zuhur.

"Kalau memilih keduanya mungkin mendekati perilaku nabi, tapi pasti akan padat, karena situasi sekarang tidak seperti zaman nabi. Lain halnya kalau bakdal Subuh dari Mudzalifah hingga Jumrah Aqobah pada pukul 10.00-12.00 WAS akan aman dan juga masih afdhal karena tidak melampaui Zuhur," ujarnya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015