Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Pokja Hukum Dewan Pers Sabam Leo Batubara menyatakan pihak Unesco telah menanyakan perkembangan penanganan kasus terbunuhnya wartawan Probolinggo, Jawa Timur, Herlyanto (40), kepada Dewan Pers.
"Februari lalu, kita menerima surat dari Unesco yang menanyakan perkembangan penanganan kasus wartawan yang dibunuh di tengah hutan jati Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo pada 29 April 2006 itu," katanya di Surabaya, Selasa.
Di sela diskusi "Potret Kemerdekaan Pers di Jawa Timur" bersama para jurnalis, humas, organisasi pers, LSM, dan akademisi, ia menjelaskan pihaknya sudah menanyakan perkembangan kasus itu ke Polda Jatim, namun belum direspons.
"Mestinya kita memberikan jawaban pada Juli lalu, namun pihak Unesco akan menunggu kepastian dari kita hingga November, karena itu kami mohon masukan dari sini," katanya dalam diskusi yang juga menampilkan anggota Dewan Pers, Ninok Leksono.
Dalam diskusi yang dipandu staf khusus Pokja Hukum Dewan Pers, Chelsia, aktivis/pegiat AJI Malang, Hari Istiawan, mengatakan kasus itu sebenarnya sudah sampai ke pengadilan, namun ada salah dari tiga terdakwa diduga gila.
"Akhirnya, terdakwa yang dimaksud dirujuk ke RSJ Lawang dan dokter setempat menyatakan tidak gila, sehingga laporan dikembalikan kepada polisi, namun aparat kepolisian hingga kini tidak melanjutkan proses ke persidangan lagi," katanya.
Bahkan, ada empat tersangka lain yang disebut-sebut ketiga terdakwa pun belum tertangkap hingga kini. "Kami sendiri menemukan kasus itu tidak murni terkait masalah pemberitaan, namun ada unsur pemerasan atau non-berita di dalamnya," katanya.
Dalam diskusi itu, anggota Dewan Pers Ninok Leksono yang juga Rektor Universitas Multimedia Nusantara Jakarta itu menegaskan bahwa kebebasan pers itu bukan "freedom from" (bebas sebebasnya), namun "freedom for" (bebas yang bermakna).
"Kebebasan yang bermakna itu memerlukan kompetensi, bukan sekadar bebas. Kebebasan yang bermakna juga memilih informasi yang bermanfaat untuk masyarakat di tengah 'banjir' informasi, bukan sekadar meneruskan informasi, apalagi informasi yang 'blur' (tak jelas kebenarannya)," katanya.
Oleh karena itu, Dewan Pers berusaha memotret kebebasan pers di Indonesia melalui penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers sejak 2009 hingga 2013, lalu menyiapkan buku panduan dan melakukan ujicoba buku panduan itu pada 2013-2015.
"Tahun depan, kami akan memulai melakukan serangkaian survei pada beberapa provinsi di Indonesia dan insya-Allah akan ada hasil dari Indeks Kemerdekaan Pers itu pada akhir tahun depan," kata wartawan senior Harian Kompas itu.
Indeks kemerdekaan pers pada setiap provinsi itu akan memotret provinsi dengan pengaduan pers paling banyak, provinsi dengan media abal-abal paling banyak, provinsi dengan kekerasan terhadap pers yang terbanyak, provinsi dengan daerah konflik yang paling rawan, dan sebagainya.
Dalam diskusi itu, peneliti pers Unair Surabaya Dr Herlambang RW menyatakan kalangan jurnalis biasanya menerima tekanan yang kuat pada dua peliputan yakni isu korupsi dan eksploitasi sumber daya alam.
"Kasus Herlyanto adalah salah satu bukti itu, lalu kasus serupa juga ada di daerah lain. Bahkan, dalam kasus eksploitasi sumber daya alam memosisikan wartawan untuk menghindari kepentingan publik karena menghindari tekanan itu," katanya.
Ia mencontohkan kasus konflik tanah di Wongsorejo, Banyuwangi, yang luput dari peliputan pers, padahal 200 KK di sana terancam miskin, bahkan ada seorang ibu yang bayi dalam kandungannya mati karena dikalungi celurit oleh oknum aparat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Februari lalu, kita menerima surat dari Unesco yang menanyakan perkembangan penanganan kasus wartawan yang dibunuh di tengah hutan jati Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo pada 29 April 2006 itu," katanya di Surabaya, Selasa.
Di sela diskusi "Potret Kemerdekaan Pers di Jawa Timur" bersama para jurnalis, humas, organisasi pers, LSM, dan akademisi, ia menjelaskan pihaknya sudah menanyakan perkembangan kasus itu ke Polda Jatim, namun belum direspons.
"Mestinya kita memberikan jawaban pada Juli lalu, namun pihak Unesco akan menunggu kepastian dari kita hingga November, karena itu kami mohon masukan dari sini," katanya dalam diskusi yang juga menampilkan anggota Dewan Pers, Ninok Leksono.
Dalam diskusi yang dipandu staf khusus Pokja Hukum Dewan Pers, Chelsia, aktivis/pegiat AJI Malang, Hari Istiawan, mengatakan kasus itu sebenarnya sudah sampai ke pengadilan, namun ada salah dari tiga terdakwa diduga gila.
"Akhirnya, terdakwa yang dimaksud dirujuk ke RSJ Lawang dan dokter setempat menyatakan tidak gila, sehingga laporan dikembalikan kepada polisi, namun aparat kepolisian hingga kini tidak melanjutkan proses ke persidangan lagi," katanya.
Bahkan, ada empat tersangka lain yang disebut-sebut ketiga terdakwa pun belum tertangkap hingga kini. "Kami sendiri menemukan kasus itu tidak murni terkait masalah pemberitaan, namun ada unsur pemerasan atau non-berita di dalamnya," katanya.
Dalam diskusi itu, anggota Dewan Pers Ninok Leksono yang juga Rektor Universitas Multimedia Nusantara Jakarta itu menegaskan bahwa kebebasan pers itu bukan "freedom from" (bebas sebebasnya), namun "freedom for" (bebas yang bermakna).
"Kebebasan yang bermakna itu memerlukan kompetensi, bukan sekadar bebas. Kebebasan yang bermakna juga memilih informasi yang bermanfaat untuk masyarakat di tengah 'banjir' informasi, bukan sekadar meneruskan informasi, apalagi informasi yang 'blur' (tak jelas kebenarannya)," katanya.
Oleh karena itu, Dewan Pers berusaha memotret kebebasan pers di Indonesia melalui penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers sejak 2009 hingga 2013, lalu menyiapkan buku panduan dan melakukan ujicoba buku panduan itu pada 2013-2015.
"Tahun depan, kami akan memulai melakukan serangkaian survei pada beberapa provinsi di Indonesia dan insya-Allah akan ada hasil dari Indeks Kemerdekaan Pers itu pada akhir tahun depan," kata wartawan senior Harian Kompas itu.
Indeks kemerdekaan pers pada setiap provinsi itu akan memotret provinsi dengan pengaduan pers paling banyak, provinsi dengan media abal-abal paling banyak, provinsi dengan kekerasan terhadap pers yang terbanyak, provinsi dengan daerah konflik yang paling rawan, dan sebagainya.
Dalam diskusi itu, peneliti pers Unair Surabaya Dr Herlambang RW menyatakan kalangan jurnalis biasanya menerima tekanan yang kuat pada dua peliputan yakni isu korupsi dan eksploitasi sumber daya alam.
"Kasus Herlyanto adalah salah satu bukti itu, lalu kasus serupa juga ada di daerah lain. Bahkan, dalam kasus eksploitasi sumber daya alam memosisikan wartawan untuk menghindari kepentingan publik karena menghindari tekanan itu," katanya.
Ia mencontohkan kasus konflik tanah di Wongsorejo, Banyuwangi, yang luput dari peliputan pers, padahal 200 KK di sana terancam miskin, bahkan ada seorang ibu yang bayi dalam kandungannya mati karena dikalungi celurit oleh oknum aparat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015