Banyuwangi (Antara Jatim) - Keteguhan warga Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, dalam mempertahankan adat dan tradisi menjadikan desa Suku Using atau Osing itu terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan.

Sebagian tradisi yang kini masih dilestarikan oleh warga desa di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur, itu adalah pembuatan tumpeng dan menjemur atau "mepe" kasur. Ritual itu kemudian dikenal dengan sebutan "tumpeng sewu".

Ribuan tumpeng disajikan warga Desa Kemiren, Kamis (17/9) malam di depan rumahnya masing-masing. Tumpeng-tumpeng itu kemudian disajikan bagi warga luar daerah maupun wisatawan yang berkunjung ke wilayah itu sebagai adat selamatan kampung.

Dengan menggunakan obor bambu yang dipasang pada tempat berkaki empat menambah unik acara tersebut. Warga Kemiren menyebut obor itu sebagai "oncor ajug-ajug". Bahkan penerangan dengan obor itu menambah sakral suasana.

Sebelum makan bersama, warga Desa Kemiren mengawalinya dengan salat maghrib berjamaah dan doa bersama. Masyarakat juga melakukan "ngarak barong" sebagai simbol penjaga Desa Kemiren. Setelah itu makan bersama dilakukan.

"Mreneo bu. Lungguho mriki, madang bareng," kata Sulastri, warga Kemiren, dalam bahasa Using yang artinya, "Ke sini bu. Duduk sini, makan bersama."

Sulastri sejak siang sibuk menyiapkan tumpeng "pecel pitik". Pada malam hari dia bersama anaknya menyuguhkan tiga ekor ayam kampung di depan rumahnya. Saat melihat ada pengunjung yang melintas, Sulastri spontan mengajak mereka turut makan bersama secara lesehan.

Warga Kemiren lainnya melakukan hal yang sama. Mereka mengajak semua warga di luar Kemiren yang hadir untuk ikut makan bersama di depan rumah mereka. Warga lain kemudian berbaur tanpa jarak dengan warga Kemiren.

Tumpeng sewu adalah ritual adat selamatan massal yang digelar sepekan sebelum Hari Raya Idul Adha. Tradisi itu digelar sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahan yang telah diterima oleh warga Kemiren sebagai suku asli Banyuwangi.

Untuk terus melestarikan budaya itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak dua tahun terakhir mengangkat tradisi tumpeng sewu ke dalam agenda pariwisata daerah. Tumpeng sewu menjadi bagian dari kegiatan besar selama setahun, yakni Banyuwangi Festival.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengemukakan, tujuan diangkatnya tumpeng sewu dalam Banyuwangi Festival adalah untuk melestarikan kearifan lokal sekaligus mengenalkan tradisi dan budaya daerah ke tingkat yang lebih luas.

"Tradisi tumpeng sewu ini bagian dari upaya merawat tradisi dan kearifan lokal. Tradisi ini juga menggambarkan keterbukaan dan keramahan Suku Using yang ingin kita kenalkan ke khalayak luas," katanya.

Sementara itu, sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul mengatakan selamatan tumpeng sewu berawal dari cerita adanya seseorang yang tiba-tiba menjerit meminta tolong karena kesakitan, padahal tanpa ada sebab musababnya.

Warga yang mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong. Akhirnya diketahui bahwa jeritan itu adalah suara dari Mbah Ramisin, sesepuh setempat, yang sedang kesurupan.

Kepada warga, Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.

"Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala. Sebab itulah warga Using menjaga tradisi itu hingga turun menurun," tutur Juhadi Timbul.

Ia menjelaskan pada ritual tumpeng sewu setiap rumah warga Using minimal akan mengeluarkan satu tumpeng yang diletakkan di depan rumahnya.

Tumpeng adalah nasi yang dimasak dalam bentuk kerucut seperti piramida dengan lauk pauk khas Using, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur kelapa).

Bentuk mengerucut pada tumpeng itu sendiri ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam.

Pecel pithik sendiri mengandung pesan moral yang bagus, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Artinya, mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.

"Acara ini sangat menyenangkan kita bisa makan bareng-bareng bersama orang banyak di sepanjang jalan. Makanannya saya suka meski sedikit pedas," ujar Christopher Reid, turis asal Kanada yang hadir ke Kemiren.

Sementara pada pagi hari, masyarakat Kemiren juga menggelar tradisi menjemur atau "mepe" kasur. Acara yang juga digelar di depan rumah masing-masing itu dimulai sejak sekitar pukul 07:00 hingga menjelang sore.

Mereka menjemur kasur berwarna khas hitam dan merah itu sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Semua merupakan simbol dari pengharapan agar masyarakat dijauhkan dari bencana dan penyakit.

Sejauh mata memandang terlihat barisan kasur berwarna dasar hitam dengan garis merah itu. Kasur-kasur itu kemudian dipukul-pukul dengan sapu lidi oleh kaum tua.

Menurut masyarakat setempat, mereka meyakini bahwa banyak masalah yang berasal dari tempat tidur, termasuk penyakit. Dengan menjemur dan membersihkan sumber penyakit itu, maka masyarakat akan terhindar dari masalah kesehatan.

Selain itu, menjemur kasur sebagai tempat tidur juga menyimbolkan harapan langgengnya pasangan suami istri yang menggunakannya.

Abdul Karim, warga Kemiren, memberikan kesaksian setelah menjmur kasur, rumahnya terasa bersih, penyakit menjadi hilang dan hati menjadi tentram.

"Semoga tradisi ini terus dilanggengakan supaya selamat semua," katanya.

Timbul Juhadi mengatakan warga Using beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur. Sehingga mereka mengeluarkan kasur dari dalam rumah lalu dijemur di luar agar terhindar dari segala macam penyakit.

"Kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang. Ritual ini digelar setiap tanggal 1 Dzulhijah dan bagian dari ritual bersih desa," katanya. (*)

Pewarta: Masuki M Astro

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015