Surabaya (Antara Jatim) - Rais Syuriah PBNU KH Masdar F Mas'udi menegaskan bahwa mekanisme pemilihan Rais Aam PBNU atau Ketua Umum PBNU secara AHWA ("ahlul halli wal aqdy" atau musyawarah mufakat) atau pemilihan langsung itu tidak penting. "Yang penting itu bukan mekanisme pemilihan, karena mekanisme pemilihan itu hanya sarana, melainkan hal terpenting adalah kepemimpinan yang menjaga identitas ke-NU-an," katanya dalam Forum Tabayyun ISNU Jatim di Surabaya, Minggu. Dalam forum berkala yang bertajuk "Mengawal Suksesi Kepemimpinan NU" itu, ia menjelaskan kepemimpinan yang menjaga identitas ke-NU-an adalah pemimpin yang tawadhu, wira'i, zuhud, tidak politis (tidak "hubbud-dun-ya"), dan tasamuh (toleran). "Jadi, pakai mekanisme apapun itu tidak penting, karena hal terpenting adalah hakekat dari kepemimpinan NU yakni kepemimpinan yang menjaga identitas ke-NU-an. Kalau pakai pemilihan langsung tapi bisa menghasilkan kepemimpinan seperti itu ya tidak apa-apa," katanya. Didampingi peneliti politik Islam dari UIN Sunan Ampel Surabaya Masdar Hilmy PhD selaku pembicara lain, ia menyatakan NU itu pesantren besar, karena itu pola kepemimpinan NU itu tidak jauh dengan pola kepemimpinan pesantren. "Tapi, jangan berharap NU sekarang seperti era kepemimpinan Mbah Hasyim (pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari), karena pesantren sekarang juga sudah berubah," katanya. Dulu, kepemimpinan pesantren itu tidak ada voting, turun temurun, dan berbasis kharisma, sehingga kepemimpinan kiai itu sangat menentukan, sedangkan lainnya "sami'na wa atho'na" (menerima dan mematuhi tanpa reserve). "Tapi, pesantren sekarang berubah, ada tata tertib, ada distribusi kekuasaan, jadi agak parlementer, bahkan ada yang presidensiil tanpa kiai, melainkan dengan direktur atau manajer. Lama-kelamaan, pesantren bisa mengarah sebagai PT (perusahaan)," katanya. Tidak jauh berbeda dengan itu, katanya, NU sebagai pesantren besar juga mengalami perubahan. "Kalau dulu, mekanisme pemilihan itu menggunakan AHWA, tapi sejak Muktamar Lirboyo menggunakan pemilihan langsung," katanya. Peneliti politik Islam dari UIN Sunan Ampel Surabaya Masdar Hilmy PhD mengatakan AHWA merupakan model yang digunakan NU hingga Muktamar 1999 di Lirboyo karena terinspirasi model yang dipakai setelah Rasulullah wafat. "Tapi, setelah Muktamar Lirboyo hingga kini menggunakan pemilihan langsung. Rencananya, Muktamar Jombang 2015 akan kembali menggunakan AHWA, tapi hal itu masih akan ditentukan peserta muktamar," katanya. Dalam diskusi yang dipandu Wakil Ketua ISNU Jatim Zainul Hamdi MAg, ia menawarkan jalan tengah yakni pemilihan langsung tapi caranya harus khusyuk dan sakral tanpa kampanye hitam dan efek negatif lainnya. "Konsep gabungan antara pemilihan langsung dan tidak langsung (AHWA) itu seperti pemilihan Paus di Vatikan, tapi saya kira hal itu terserah peserta muktamar," katanya. Secara terpisah, Wakil Ketua ISNU Jatim Zainul Hamdi MAg mengatakan NU itu penting, karena itu ISNU berkepentingan untuk menyelamatkan dari pihak-pihak yang ingin mengendalikan muktamar dengan target menguasai NU ke depan. "Nilai ke-NU-an politisi NU itu diukur dari seberapa kuat dia menjaga NU, bukan malah menghancurkan sendi-sendi, tidak peduli seberapa banyak bantuan finansial yang diberikan kepada NU," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015