Surabaya (Antara Jatim) - Presiden Ke-6 RI Prof Dr H Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengusulkan perlunya penataan kembali hubungan untuk lembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK.
"Demokrasi kita yang semi presidensial atau semi parlementer itu memang gaduh, tapi hal itu jangan membuat kita tergoda kembali pada politik otoritarian," katanya dalam kuliah umum di Universitas Airlangga Surabaya, Selasa.
Dalam kuliah umum berjudul "Sistem Ketatanegaraan RI dan Relasinya dengan Politik Nasional" di hadapan 534 mahasiswa baru pascasarjana, profesi, dan spesialis di Unair, ia menjelaskan kegaduhan politik bukan berarti politik yang dipilih itu salah.
"Kalau kita melakukan amendemen UUD 1945 itu karena UUD 1945 itu bukan keramat, tapi harus adaptif terhadap perubahan. Kita jangan malu dan marah terhadap perubahan, asalkan perubahan itu dilakukan secara aspiratif, sesuai kebutuhan, dan proses perubahannya dengan cara yang benar," katanya dalam kuliah umum yang dihadiri Chairul Tanjung, Mohammad Nuh, dan Gubernur Soekarwo itu.
Sebagai tokoh yang pernah dipercaya menjadi presiden, SBY menawarkan lima hal fundamental untuk mengatasi kegaduhan politik, sehingga bangsa Indonesia bisa melakukan penghematan energi politik dan energi sosial yang mendorong kemajuan dan kejayaan Indonesia.
"Kelima hal fundamental itu memerlukan konsensus nasional. Fundamental pertama adalah sistem politik, yakni sistem politik yang kita anut sebenarnya sistem presidensial, tapi dalam praktiknya adalah semi presidensial dan semi parlementer, sehingga terjadi kegaduhan," katanya dalam kuliah umum yang dihadiri Chairul Tandjung dan M Nuh.
SBY yang juga Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia itu menilai bangsa Indonesia bisa saja kembali kepada sistem presidensial, tapi sistem presidensial dalam tatanan yang demokratis, bukan sistem otoritarian.
Fundamental kedua adalah UUD 1945 menyebut Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik, tapi dalam praktiknya justru menjalankan desentralisasi yang luas dan otonomi daerah. "Bisa saja sistem desentralisasi dan otonomi itu menjadi pilihan kita, namun sistem distribusi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu ditata," katanya.
Fundamental ketiga adalah hubungan negara dan rakyat yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab, karena semua berpendapat bahwa HAM itu penting, namun ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban dan tanggung jawab itu harus seimbang.
Fundamental keempat adalah sistem "dua kamar" antara DPR dan DPD yang dalam praktiknya masih terkesan "1,5 kamar", karena peran dan kewenangan DPD masih sangat kecil, karena itu perlu segera ditata ulang untuk keseimbangan sistem "parlementer" yang ada.
Fundamental kelima adalah perlunya penataan hubungan untuk lembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK, sehingga tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan yang menghabiskan energi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015