Oleh Ahmad Buchori Jakarta (Antara) - Anggota Komisi XI DPR RI dari PDIP Maruarar Sirait minta agar Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kompak dan berkonsentrasi penuh pada tugas masing-masing sesuai yang ditetapkan undang-undang. "BI dan OJK agar kompak dan saling bersinergi dalam melakukan tugasnya masing-masing sesuai yang ditetapkan undang-undang. BI mengelola kebijakan makroprudensial dan OJK kebijakan mikroprudensial," katanya di Jakarta, Minggu. Maruarar Sirait yang akrab dipanggil Ara itu menanggapi pernyataan BI saat sidang 'judicial review' UU OJK di MK bahwa telah tejadi tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK serta tidak efektifnya keberadaan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK)). Forum yang beranggotakan Kemenkeu, BI, OJK dan LPS itu untuk membahas stabilitas sistem keuangan dan mengatasi krisis. Sementara Kemenkeu dalam sidang tersebut menyatakan FKSSK sudah efektif berjalan. Berdasarkan undang-undang, BI mengurus kebijakan makroprudensial seperti kebijakan moneter untuk menjaga inflasi, suku bunga dan stabilitas rupiah, mengelola cadangan devisa, serta sistem pembayaran nasional. Sedangkan tugas OJK fokus pada kebijakan mikroprudential yaitu pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap industri keuangan seperti industri perbankan, pasar modal serta industri keuangan non-bank seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan lembaga keuangan mikro. "Hanya memang kalau ada tumpang tindih kewenangan, kita harus duduk bersama membicarakan batasan makroprudensial di mana dan mikroprudensial ada di mana," kata Ara. Ia mengatakan akan memanggil BI dan OJK dalam rapat kerja mendatang. "Karena yang saya tahu selama ini gak ada permasalahan apa-apa antara OJK dan BI," katanya. Dalam UU OJK sebenarnya telah diatur secara tegas bentuk hubungan kelembagaan antara OJK, BI, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) di bidang perumusan kebijakan pengaturan dan pemeriksaan bank, pertukaran data dan informasi bank, dan pencegahan serta penangan krisis. Pemisahan mikro-makroprudential untuk mencegah benturan kepentingan, dan mekanisme 'check & balances', khususnya dalam pengelolaan industri perbankan. Fakta sejarah Mantan Ketua Pansus RUU OJK Nusron Wachid mengingatkan semua pihak bahwa terbentuknya OJK merupakan keputusan politik yang didasari fakta sejarah. Fakta itu mulai dari 'moral hazard' yang terjadi di industri keuangan saat krisis ekonomi 1997/1998 yang ditandai dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), obligasi rekap, sampai munculnya kasus Bank Century 2008. Itu menunjukkan bahwa pengawasan sektor jasa keuangan yang terpisah, yaitu perbankan oleh BI dan industri keuangan non-bank dan pasar modal di Departemen keuangan, telah menimbulkan 'loopholes' yang dimanfaatkan oleh mafia kejahatan di industri keuangan. "OJK dan pengawasan terintegrasi jadi kata-kata kunci untuk menambal loopholes tersebut. Seluruh industri, pengaturan dan pengawasannya harus di bawah satu lembaga yaitu OJK," katanya. Apalagi perkembangan konglomerasi keuangan di Indonesia sangat pesat. "Bagaimana bila mereka 'colaps', dapat memicu krisis sistemik. Nah dengan pengaturan dan pengawasan secara integrasi niscaya risiko konglomerasi akan termonitor dan dimitigasi," kata Nusron. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014