Surabaya (Antara Jatim) - Pengumuman Kabinet Kerja Jokowi-JK pada Minggu (26/10) petang agaknya membuktikan bahwa sosok Khofifah memang tidak cocok menjadi gubernur. Apalagi, arek Surabaya kelahiran 19 Mei 1965 itu sudah dua kali mengincar posisi eksekutif dengan bersaing dalam Pilgub Jatim 2008 dan 2013, namun ia harus menelan kekalahan. Kendati begitu, komitmen mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu pada dunia politik dan isu-isu perempuan menyeret langkahnya masuk dalam jaringan pemenangan pasangan Joko widodo dan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. Khofifah mulai intensif mendukung pasangan itu saat Jokowi mengunjungi kediaman alumni Fisip Unair Surabaya itu di kawasan Jemursari Surabaya pada awal Mei 2014. Saat itu, Jokowi mengajukan permintaan kepada Ketua Umum PP Muslimat NU tersebut agar bersedia menjadi juru bicaranya. Saat itu, Khofifah menyanggupi. "Saya bersedia, karena saya merasa bisa bersinergi," ujar mantan menteri di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu. Faktanya, Khofifah bekerja lebih dari sekadar jubir, karena ia banyak berkonsentrasi di lapangan. "Biarlah saya yang melakukan penyapaan pada umat," ujarnya. Dukungan penuh yang diberikan Kofifah kepada Jokowi bukan tanpa alasan. "Jokowi-JK adalah pasangan ideologis. Ibarat listrik yang langsung tersambung alirannya," jelasnya. Pasangan itu pun mengingatkannya pada duet maut Barrack Obama dan Joe Biden di Amerika Serikat. "Di berbagai tempat, bahkan di daerah pelosok, saya merasakan dukungan untuk pasangan itu begitu tulus," ujar Ketua Umum PP Muslimat NU selama tiga periode itu. Dalam melakukan berbagai hal, Khofifah mengaku terbiasa melakukan upaya dengan semaksimal mungkin. Tentunya dibarengi dengan strategi. Harus pula ada langkah alternatif. "Rencana A, B, C dan seterusnya. Ikhtiar harus dilakukan hingga detik terakhir. Batas ikhtiar itu adalah takdir," papar ibu dari empat anak yang dekat dengan wartawan itu. Artinya, jika ambang batas atas sesuatu itu pada pukul 11, maka ikhtiar harus dilakukan hingga pukul 11 kurang satu detik. "Tugas kita berusaha tanpa putus asa hingga detik terakhir. Selanjutnya bukan lagi wilayah kita. Sudah berada dalam kuasa Allah," katanya. Ikhtiar yang dilakukan lulusan SD Taquma - Surabaya (1972-1978), SMP Khadijah - Surabaya (1978-1981), dan SMA Khadijah - Surabaya (1981-1984) itu pun tidak sia-sia. Hasilnya, Jokowi-JK akhirnya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019. Tentu, sukses itu mendapat apresiasi dari Jokowi, bahkan Jokowi pasca-Pilpres pun menyempatkan diri ke kediaman Jokowi-JK untuk mengucapkan terima kasih. Akhirnya, pasangan Jokowi-JK pun memberi kepercayaan kepadanya sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Tunggu Kinerja Bagi aktivis perempuan yang juga legislator DPRD Jatim Agatha Retnosari, Khofifah memiliki kapasitas sebagai Menteri Sosial, karena pengalaman organisasi dan birokrasi yang berkutat pada masalah perempuan. "Mbak Khofifah itu tokoh perempuan dan pernah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, sedangkan masalah sosial itu banyak dialami kaum perempuan, jadi tepatlah kalau dia yang dipilih," katanya. Menurut politisi PDIP Jatim itu, masalah sosial di Indonesia umumnya dialami kaum perempuan, di antaranya perempuan miskin, janda, dan wirausahawati. "Saya kira itu semua menjadi urusan negara, karena itu Kementerian Sosial harus memberdayakan mereka," kata aktivis Koalisi Perempuan Parlemen Jatim itu. Namun, masyarakat juga harus bersabar untuk menunggu kinerja Khofifah dan sejumlah menteri dari kaum perempuan, karena semuanya baru dilantik. "Tentu, Presiden Jokowi akan memberikan arahan terkait program kerja untuk mereka dan dari sanalah akan dapat dievaluasi kinerja mereka itu sudah cocok atau tidak," katanya. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya tidak terburu-buru memberi penilaian, padahal kerja saja belum dilakukan. "Kalau kita sering melakukan stereotype, kapan bisa maju," katanya. Pandangan senada juga datang dari Wakil Ketua Umum PBNU KH Dr Asad Said Ali yang ditemui di sela menyaksikan pengumuman Kabinet Kerja melalui televisi di kediamannya di Jakarta, Minggu (26/10). Menurut dia, Khofifah Indar Parawansa adalah sosok yang tepat untuk posisi sebagai Menteri Sosial. "Itu karena pengalamannya memimpin Muslimat NU, bahkan dia memimpin Muslimat NU hingga tiga periode, tentu dia bisa terpilih berkali-kali karena kinerjanya memang bagus," katanya. Menurut dia, PBNU berharap menteri-menteri asal Nahdliyyin atau kader organisasi kemasyarakatan dan keagamaan itu tidak mengecewakan dan harus menunjukkan kualitasnya kepada publik. "Setiap jabatan adalah amanah dan bekerjalah dengan ikhlas demi kemaslahatan umat. Ini sebuah kepercayaan dan siapa pun yang menjabat harus melaksanakan sebaik-baiknya," ujarnya. Dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK ada 34 nama menteri dengan enam di antaranya merupakan kader NU, yakni Marwan Jafar (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) dan Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga) . Selanjutnya, Hanif Dakhiri (Menaker), Mohammad Nasir (Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi), Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama), dan Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial). Bagi Khofifah sendiri, urusan sosial itu bukan hal baru, karena selama memimpin PP Muslimat NU pun sudah sering berkecimpung dalam bidang itu. Selama menjadi orang nomer satu pada organisasi perempuan di lingkungan NU itu, ia berusaha mengurangi angka kematian ibu melahirkan, membenahi kesejahteraan sosial perempuan dengan mengembangkan koperasi wanita, dan sebagainya. Kini, politisi perempuan dari Surabaya itu memiliki peluang untuk berbuat lebih dalam bidang sosial, karena posisinya memungkinkan dirinya untuk mengeluarkan kebijakan strategis secara nasional. Posisi yang tidak mungkin didapat bila dirinya hanya menjadi gubernur. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014