Ada tiga perhelatan yang kini cukup menyita perhatian masyarakat luas. Perhelatan itu adalah 3-P yakni pemilihan presiden (pilpres), puasa (puasa Ramadhan) dan piala dunia (FIFA World Cup 2014). Perhelatan 3-P itu memiliki tema berbeda, tapi ketiganya memiliki satu esensi yang sama yakni kompetisi. Ya, kompetisi untuk meraih kemenangan. Pilpres, jelas merupakan kompetisi. Dua pasang calon presiden dan wakil presiden Indonesia kini sudah mulai berkompetisi untuk memenangkan atau meraih kursi pucuk pimpinan negeri ini. Untuk meraih itu, kini sudah dimulai dengan upaya-upaya mendapatkan simpati masyarakat sebagai pemilik suara. Kampanye di sejumlah daerah, debat di televisi dan kegiatan-kegiatan lain dengan berbagai kemasan, muaranya juga untuk mengambil hati masyarakat, sehingga pada gilirannya mendapatkan suara terbanyak dan memenangkan pemilihan. Bahkan, jika melongok sosial media, kompetisi antar-pendukung calon presiden dan wakil presiden juga tidak kalah seru. Pendukung yang satu menyajikan argumentasi pilihannya. Harapannya, orang lain menjadi tertarik untuk mendukung calon yang sama. Pada kenyataannya, para calon pemilih yang lain justru mencoba mengkritisinya. Begitu sebaliknya. Hal itu terjadi dari waktu ke waktu belakangan ini dengan intensitas yang semakin tinggi. Semakin mendekati hari pemilihan yang dijadwalkan berlangsung 9 Juli 2014, kompetisi diperkirakan akan semakin sengit. Serunya persaingan dalam bingkai "kegiatan berkampanye" tersebut diharapkan tidak sampai melukai yang lain. Kompetisi di negeri demokrasi untuk mencapai negara kesejahteraan (welfare state) ini akan terlalu besar ongkos sosialnya jika satu melukai yang lain, atau saling melukai. Dua kontestan, dua kubu, dua pihak sedang berkompetisi. Jika kompetisi menyisakan luka dalam, rasanya akan sulit menghapuskannya. Kalau itu terjadi, cita-cita negara demokrasi dengan kesejahteraannya, ke depan justru akan menghadapi tantangan berat. Indonesia sebagai negara demokrasi, sudah seharusnya menjunjung tinggi kekuasaan rakyat. Bukankah Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat kelahiran Hardin County, Kentucky, 12 Februari 1809 yang anti-perbudakan ini pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari (kepercayaan) rakyat, oleh (suara) rakyat, dan untuk (kesejahteraan) rakyat. Untuk P yang kedua adalah puasa Ramadhan yang pada dasarnya juga kompetisi, menyita perhatian masyarakat pula. Selain ibadah puasanya sendiri, di bulan ini ada aktivitas dan mobilitas masyarakat yang meningkat tajam dibandingkan biasanya. Apa itu ? Yaitu pemenuhan kebutuhan pokok dan mudik Lebaran. Meskipun hal itu bukan satu rukun ibadah, tapi fenomena ini sudah seperti ritual. Naiknya harga kebutuhan pokok sudah seperti menjadi kelaziman. Permintaan jasa layanan transportasi juga membengkak. Permintaan tiket kereta api misalnya, meski penjualan dibuka jauh hari sebelum bulan Ramadhan atau sebelum keberangkatan, habis terjual. Karena itu, tingginya inflasi yang disokong dari naiknya harga kebutuhan pokok serta pemenuhan kebutuhan transportasi pada bulan Ramadhan, tampaknya telah menjadi angka pasti yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Makna puasa sendiri adalah menahan (diri), katena itu diharapkan bisa menjadi amalan untuk menahan hawa nafsu yang menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak baik. Di dalam bulan yang penuh berkah ini manusia diperintahkan untuk berlomba-lomba menahan hawa nafsu dan memperbanyak amal baik. Amal baik ini akan dilipatgandakan jika dibandingkan amal perbuatan di hari biasa. Manusia diperintahkan ber-fatabiqul khoirot, berkompetisi dalam meraih kemaslahatan, bukan dalam kemudharatan. Dengan menjalankan puasa Ramadhan, mudah-mudahan pada waktunya akan memperoleh kemenangan, kemenangan mengalahkan hawa nafsu. Nah, piala dunia (FIFA World Cup 2014) yang merupakan P berikutnya, juga ajang kompetisi. Sebanyak 32 negara lolos mengirimkan kesebelasannya berlaga di ajang empat tahunan ini di Brasil. Masing-masing negara mengirimkan pemain terbaiknya untuk berlaga di laga yang konon menyedot perhatian miliaran pasang mata ini. Masyarakat penggemar sepak bola di Indonesia bahkan rela menahan kantuk demi menyaksikan tim-tim terbaik berkompetisi. Perbedaan waktu yang menyebabkan pertandingan sepak bola di Brasil bisa disaksikan secara langsung di Indonesia pada tengah malam hingga dini hari. Oper bola akurat, giring bola yang lengket, gol-gol cantik, "sliding tackle" keras, bentruran kaki dan benturan kepala, girang kemenangan dan sedih menjadi pecundang, tersaji dalam aksi para seniman sepak bola kelas dunia ini. Babak penyisihan grup dengan sistem setengah kompetisi sudah selesai. Dari 32 tim yang berlaga, kini tinggal separohnya. Sedangkan separoh lainnya harus angkat koper, pulang lebih awal. Dijadwalkan final kompetisi sepak bola terbesar sejagat ini akan berlangsung pertengahan Juli mendatang setelah 16 tim mengikuti babak berikutnya. Sepak bola tidak hanya mempertontonkan ketrampilan pemain, indahnya permainan dan strategi tim, tapi juga mengajarkan "fair play" dan sportivitas dalam berkompetisi. Tidak sekedar menang, tapi nilai-nilai dalam berkompetisi harus dihormati dan dijunjung tinggi. Nah, pilpres, puasa dan piala dunia, sama-sama dilaksanakan pada bulan Juli. Pilpres dilaksanakan 9 Juli, lalu final piala dunia berlangsung pada pertengahan Juli dan puasa Ramadhan akan berjalan hingga akhir Juli. Ketiganya, hakekatnya adalah kegiatan penuh kompetisi untuk meraih kemenangan. Seperti halnya dalam berkompetisi, maka kejujuran dan sportivitas merupakan harga mati. Kompetisi tidak boleh saling melukai, tidak boleh saling menjatuhkan, tapi berkompetisi yang sehat dan saling menghormati. Selamat berkompetisi ...semoga meraih kemenangan !!! (*).

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014