Trenggalek (Antara Jatim) - Di mata tetangga dan keluarganya, terduga teroris Galih Aji Satria (29) dikenal sebagai sosok berkepribadian tertutup, bahkan terhadap orang tuanya sendiri di Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tak banyak kata-kata keluar dari mulud Sunardi, ayahanda Galih alias Hari Rahayu saat wartawan Antara mendekatinya di depan pintu rumahnya usai menerima kunjungan Kapolres Trenggalek, AKBP Denny Setya Nugraha Nasution, Sabtu (22/3) siang. Wajahnya terlihat masih tegang, demikian pula istrinya (ibunda Galih), Lilik yang saat itu masih mengenakan baju dinas guru SD motif batik dipadu jilbab warna kuning. Sejurus pria paruh baya berperawakan tinggi tapi sedikit kurus itu berdiri terpaku di depan pintu. Tatapan matanya sayu mengikuti langkah beberapa petugas kepolisian yang berjalan keluar, usai melakukan penggeledahan di dalam rumah mungil mereka di lingkungan padat penduduk pusat kota Kecamatan Panggul. Ia nyaris saja beringsut masuk, ketika Antara dan beberapa wartawan berjalan mendekat dan mencoba mengajak bicara dengan memulai kalimat menyapa bernada basa-basi. "Pak, 'sampun rampung nggeh bapak-bapak polisi niki' (Pak, sudah selesai ya acara dengan bapak-bapak polisi ini)," ucap salah satu dari wartawan mencoba mencairkan suasana. Namun, usaha basa-basi demi bisa berbincang lebih dekat dan mendapat informasi lebih banyak dari ayahanda terduga teroris Galih Satria ini rupanya berakhir sia-sia. Sunardi memang mencoba bersikap tenang dan menjawab sapaan wartawan, yang mendekatinya di depan pintu rumah bagian dalam. Namun, saat Antara permisi untuk menanyakan ihwal anaknya yang terjerat masalah terorisme, Marsudi segera mempersilahkan wartawan untuk meminta penjelasan langsung ke kapolres. "Langsung ke pak kapolres saja ya, kami sudah menyerahkan semuanya ke polisi," sahutnya dengan mimik masih tegang. Ia tampak keberatan membahas anak sulungnya yang sedang tersandung masalah. "Kami sudah sampaikan semuanya ke polisi," imbuhnya lagi. Ibunda Galih yang saat itu masih duduk termangu di kursi ruang tamu beringsut berdiri menghampiri seraya meminta wartawan untuk pergi meninggalkan rumah mereka. "Maaf ya mas, kami tidak bisa melayani wawancara dulu," ucapnya dari balik pintu. Sekilas, wajah putih ibu empat anak ini terlihat masih pucat pasi. Kesedihan masih tampak jelas membekas di raut mukanya yang mulai keriput. Ia masih terus berdiri di situ sampai kami memutuskan tidak melanjutkan inisiatif wawancara dan meninggalkan rumah mereka. Tetapi, Sunardi menyampaikan beberapa jawaban singkat atas pertanyaan "memaksa" wartawan, bahwa mereka saat ini hanya bisa pasrah menerima kenyataan anaknya, Galih Satria, yang kembali terseret aliran Islam garis keras dan masalah terorisme. "Iya, kami sudah mendapat kabar mengenai (penangkapan) anak kami," jawab Sunardi berusaha tetap tenang. Tak berselang lama wartawan keluar, Sunardi segera menutup pintu garasi dan ruang tamu rumah mungil mereka yang terletak di salah satu gang jalan raya Dusun Wonocoyo Utara. Suasana kembali lengang, dan hanya meninggalkan beberapa tetangga dan perangkat desa yang sejak awal menyaksikan proses penggeledahan hingga usai. Sosok Galih Beberapa tetangga Galih rata-rata memiliki pendapat seragam mengenai sosok pemuda kelahiran 1985 tersebut. Mereka menyebut, Galih yang telah menikah dengan perempuan asal Magetan dan dikaruniai dua anak ini sebagai pribadi yang tertutup dan jarang berkomunikasi dengan tetangganya. Perubahan perilaku itu konon sejak Galih yang pernah mengenyam kuliah D-1 jurusan informatika ITS sekitar tahun 2003 ini masuk pondok pesantren Umar Bin Khatab, Surabaya dan dikirim ke Malaysia selama delapan bulan. Sulung empat bersaudara ini lebih rajin beribadah. Cara berpakaian dan penampilannya pun berubah. Selalu mengenakan setelan gamis panjang, celana cingkrang dan memelihara jenggot. Penampilan itu berbeda jauh dibanding semasa masih remaja di SMA yang cenderung lebih luwes terhadap kerabat, tetangga maupun rekan-rekannya. "Sekarang kerjaannya lebih banyak di dalam rumah. Kalaupun keluar, paling untuk keperluan beribadah di masjid," tutur Misdi, Kepala Dusun Wonocoyo Utara memberi kesaksian. Perilaku tertutup dan sikap keras dalam hal faham keislaman Galih, kata Misdi dan sejumlah tetangga sekitar rumah terduga teroris kelompok Santoso ini, semakin mencolok setelah putra Sunardi dan Lilik Supiyati ini merantau ke Sulawesi Selatan dan bekerja sebagau buruh kebun. Pribadi Galih disebutkan semakin keras. Ia bahkan berani menentang nasihat orang tuanya sendiri, terutama jika sudah menyangkut masalah faham dan keislaman. "Pernah satu kali ibunya memberi nasihat untuk tidak ikut-ikutan aliran (Islam) fundamental, tapi dia melawannya," ungkap seorang tetangga dekat Galih di Dusun Wonocoyo. Kesaksian beberapa tetangga dan perangkat itu identik dengan keterangan orang tua Galih kepada polisi. Kapolsek Panggul, AKP Solichin bahkan menyebut Galih sempat beberapa kali dipanggil untuk dilakukan pembinaan, khususnya selepas ia keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Magetan karena kasus terorisme pada Juli 2012. Penampilan Galih memang kemudian berubah. Ia tidak lagi hobi mengenakan baju gamis dan memelihara jenggot panjang, tetapi pemahaman dia soal ajaran Islam garis keras rupanya terlanjur mendarah daging. "Pengaruh dari luar rupanya lebih kuat, sehingga nasihat orang tuanya pun tidak didengarkan," ujar Kapolres Trenggalek, AKBP Denny Setya Nugraha Nasution. Padahal, ibunda Galih sangat khawatir anak sulungnya kembali terseret masalah terorisme. Di hadapan polisi, kata Solichin, ibunda Galih bahkan sempat menangis saat mencurahkan perasaannya yang was-was anaknya itu benar-benar terlibat jaringan terorisme. Namun apa daya, sekeras hati dan upaya dilakukan orang tua, Galih justru minggat tanpa pamit keluarganya pada 22 Februari 2014. Tidak sendirian, Galih membawa serta istri dan dua buah hatinya, sehingga membuat Sunari dan Lilik (orang tuanya) kalang kabut. Keberadaan mantan narapidana terorisme karena kedapatan membawa bahan peledak dalam sebuah operasi cipta kondisi di depan Mapolres Magetan pada 12 Januari 2011, itu baru diketahui setelah istrinya menelepon Lilik, sang mertua, dan mengabarkan jika sudah berada di Makassar, Sulsel. Setelah itu, Galih dan istrinya tidak ada kabar lagi hingga akhirnya, beberapa hari lalu, keluarga di Panggul mendapat kabar dari Mabes Polri dan memberi tahu jika Galih ditangkap Densus 88/Antiteror karena diidentifikasi terlibat pengiriman paket diduga berisi bom pipa dan "bom tupperware". "Tadi, kepada kami orang tuanya menyampaikan sudah pasrah terhadap nasib anaknya (Galih). Mereka menyerahkan sepenuhnya proses gukum kepada pihak berwajib, namun meminta kami memberitahu jika mengetahui keberadaan menantu dan dua cucunya," kata Kapolres Trenggalek, AKBP Denny.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014