Surabaya (Antara) - Aktivis hukum lingkungan yang merupakan Partner on Climate Change & Green Investment Indoconsultancy, Gita Syahrani, menegaskan bahwa Bencana Kabut Asap Riau yang rutin terjadi itu sebenarnya dipicu masalah koordinasi antara pusat dan daerah yang amburadul. "Bencana itu bisa terjadi secara rutin dan tahun ini lebih parah karena pusat-daerah tidak ada koordinasi, bahkan pusat mengira urusan daerah, tapi daerah justru mengira urusan pusat, sehingga tidak tertangani," katanya kepada Antara di Surabaya, Sabtu. Ketika ditemui di sela-sela dialog bertajuk "Gunakan Hak Pilihmu untuk Menghindari Bencana Pemanasan Global" yang digelar Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) di Unair, ia menyatakan masalah koordinasi itu sangat serius. "Kalau tidak teratasi juga, saya sudah mendengar bahwa pihak Singapura sebagai wilayah terdampak berencana menggugat Indonesia di Mahkamah Internasional, karena sudah sangat jengkel," katanya. Menurut aktivis yang kini terlibat dalam program REDD+ itu, pemerintah pusat sudah menyadari hal itu, karena itu Presiden membentuk Satgas Penanggulangan Bencana Kabut Asap Riau sebagai solusi atas masalah koordinasi itu. "Kami berharap Satgas Asap Riau yang dipimpin Danrem 031/Wirabima Brigjen TNI Prihadi Agus Irianto itu mampu menjembatani masalah koordinasi, karena itulah sumber masalah sebenarnya. Kalau koordinasi teratasi, saya yakin masalah asap akan teratasi," katanya. Apalagi, katanya, trend dari titik api itu dapat dibaca. "Kalau trend itu diketahui, saya kira Satgas Kabut Asap Riau dapat mempertemukan banyak pihak untuk mencari penyebab, lalu dirumuskan masalah X menjadi tanggung jawab Y, masalah XX menjadi tanggung jawab YY, dan seterusnya. Itu pun dievaluasi secara rutin, termasuk Badan Pengelola REDD+ dapat membantu apa," katanya. Ditanya penyebab bencana kabut asap Riau yang kali ini terlihat lebih tinggi titik apinya dibandingkan dengan titik api pada tahun 2013, ia menilai penyebabnya merupakan gabungan antara unsur ketidaksengajaan dan unsur kesengajaan. "Unsur ketidaksengajaan itu antara lain karena saat ini merupakan musim kering dan perpindahan arah angin di Riau sering anomali, sedangkan unsur kesengajaan sudah jelas ada pengusaha sawit yang tidak mempertimbangkan faktor alam itu tadi," katanya. Namun, pemerintah daerah seorang tidak peduli, karena mereka menganggap hal itu menjadi urusan kementerian kehutanan, BNPB, atau pemerintah pusat. "Buktinya, Gubernur Riau saat membahas bencana kabut asap Riau itu tidak membahas cara menanganinya, tapi justru membahas bagaimana liburan untuk pegawai setempat yang terdampak kabut asap itu," katanya. Padahal, seharusnya pemerintah daerah itu mempunyai tanggung jawab juga atas semua kejadian di daerahnya, karena pemerintah daerah itulah yang memberikan izin. "Mereka seharusnya melakukan verifikasi dalam perizinan terkait kemungkinan pencabutan izin dan menjatuhkan sanksi dalam bentuk konsesi untuk itu. Yang jelas, perlu ada upaya antisipasi agar bencana kabut asap itu tidak menjadi bencana rutin," katanya. Ia menambahkan masalah kebakaran lahan atau hutan merupakan hal yang sangat serius, karena masalah lingkungan di Indonesia itu mencapai 87 persen disebabkan oleh kerusakan lingkungan, khususnya hutan dan lahan gambut, sedangkan masalah sampah, limbah, dan lainnya hanya 13 persen. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014