Buah leunca atau ranti (sejenis terung) yang biasanya dikonsumsi untuk lalapan itu bisa "disulap" menjadi krim pelindung kulit dari sinar matahari (tabir surya/sunblock) antikanker oleh tim mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala (WM) Surabaya. "Untuk penelitian produk perawatan kulit itu, kami menggunakan prinsip zero waste product karena ampas hasil pengolahan buah 'leunca'-nya bisa diolah menjadi penganan juga. Selain itu, buah itu memiliki kandungan senyawa yang mampu menangkal efek bebas pemicu sel kanker," ucap mahasiswa WM Farrel Gunawan di kampus setempat (18/3). Didampingi dua rekannya, Reinard Dona Tiono dan Iwan Gunawan, mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Kimia, WM itu menjelaskan bahwa penelitian ini didasari menipisnya lapisan ozon di bumi sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah paparan sinar ultraviolet (UV) dan radiasi sinar UV akan memperbesar risiko terkena kanker kulit. "Inovasi tabir surya dari leunca itu ada tiga keunggulan, yakni bahan baku tersedia sepanjang tahun, proses ekstraksi yang hemat energi, dan lebih ekonomis serta metode yang kami gunakan menghasilkan bahan aktif murni, steril, cepat, dan alami," tuturnya yang juga didampingi dosen pembimbing Ir. Suryadi Ismadji, M.T., Ph.D. Tidak hanya itu, inovasi yang berhasil masuk dalam 105 Inovasi Indonesia Prospektif 2013 yang diadakan oleh Business Innovation Center (BIC) itu juga tidak ada sedikit pun bagian yang tersisa untuk menjadi limbah, bahkan ampas buah leunca diolah menjadi kue nastar yang aman untuk dikonsumsi. "Dalam inovasi itu, kami mengekstraksi secara spesifik kandungan tertentu dari tanaman herbal, lalu kombinasikan dengan teknologi farmasi untuk menjaga stabilitas dan khasiatnya sehingga leunca dapat menjadi bahan baku yang relatif murah dan menghasilkan sediaan obat bernilai tinggi," paparnya. Ia mengatakan bahwa inovasi itu merupakan pengembangan dari inovasi dalam bentuk salep antikanker dengan menggunakan ekstraksi buah leunca. "Ekstrak leunca memiliki kandungan zat dan senyawa yang mampu menangkal efek radiasi bebas pemicu sel kanker, terutama kanker kulit," ujarnya. Kecap Kacang Hijau Sebelumnya, tim mahasiswi WM yang terdiri atas empat mahasiswi Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, WM Surabaya, telah menciptakan inovasi berupa pembuatan kecap dari bahan dasar kacang hijau. "Umumnya, bahan dasar kecap adalah kedelai atau kedelai hitam, tetapi kami membuat dari bahan alternatif untuk menyiasati mahalnya harga kedelai," ungkap mahasiswi WM Calista di kampus setempat (5/2). Didampingi tiga rekannya, Melia Stefani Tjipto, Delfhia Rasubala, dan Stephannie Brenda Shanice Riadi, dia menjelaskan bahwa kacang kedelai memiliki nutrisi dan protein yang baik sebagai bahan baku kecap dan setelah diolah akan menimbulkan bau dan rasa yang khas. "Sayangnya, kedelai terkadang mahal harganya dan sulit didapat karena juga digunakan sebagai bahan baku tempe dan tahu yang masih menjadi makanan pendamping utama bagi masyarakat Indonesia," ucapnya. Menurut dia, kacang hijau sebenarnya telah dikenal masyarakat dan berpotensi sebagai bahan baku kecap pengganti kedelai. Namun, belum ada yang menggunakannya. "Kacang hijau memiliki harga lebih murah dan mudah didapatkan di pasaran. Selain itu, kandungan nutrisi dan protein kacang kedelai setara dengan kacang hijau," kata mahasiswi angkatan 2010 itu. Apalagi, cara pembuatan kecap dari kacang hijau yang juga tercatat pada daftar 105 Inovasi Indonesia Prospektif 2013 yang diadakan oleh Business Innovation Center (BIC) itu bisa dilakukan dengan peralatan yang sederhana dan mudah diaplikasikan. "Akan tetapi, ada tantangan yang harus dihadapi pada tahap proses filtrasi karena dapat memengaruhi tekstur kecap yang dihasilkan," timpalnya. Sosis Nabati Inovasi lain datang dari Amelia Rahardjo, Felicia Salim, Yulius Andy, dan Jericko Wicaksana yang juga mahasiswa Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, WM Surabaya. Mereka membuat sosis nabati yang lezat yang bergizi dari kacang merah yang dikenal memiliki banyak kandungan nutrisi, kaya dengan vitamin K dan B, asam folat, karbohidrat kompleks, serat, dan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. "Selama ini, masyarakat mengenal sosis yang berbahan baku daging sebagai makanan olahan yang ringkas untuk dimasak, tetapi sosis ini memiliki kadar lemak dan kolesterol yang tinggi dan dapat memicu obesitas maupun penyakit lainnya jika dikonsumsi secara rutin," ujar Amelia di kampus setempat (5/2). Menurut dia, sosis yang baik harus mengandung protein minimal 13 persen, lemak maksimal 25 persen, dan karbohidrat maksimal 8 persen. "Nah, sosis nabati itu berbahan baku kacang merah, jamur tiram, dan gluten. Kacang merahnya mampu memenuhi 30 persen kebutuhan serat, mengandung omega-3 dan omega-6. Jamur tiram mengandung 72 persen asam lemak tidak jenuh, fosfor, dan kalsium, sedangkan gluten memiliki nilai karbohidrat yang rendah," tukasnya. Kombinasi ketiga bahan baku tersebut menjadikan sosis nabati itu aman dikonsumsi setiap hari, sangat cocok bagi vegetarian, dan pastinya halal. Yang pasti, sosis kacang merah memasok protein yang hampir sama dengan daging, nyaris bebas lemak, kolesterol, dan natrium. "Jadi, inovasi kami itu dapat digunakan sebagai alternatif makanan diet karbohidrat bagi penderita hipertensi dan diabetes," ungkapnya.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014