"Dulu Mister Nadir ini agak gemuk. Pipinya montok, tapi sekarang seperti ini," kata Arifin, salah satu peserta kursus di Kampung Inggris, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dengan menggunakan Bahasa Inggris, lelaki asal Sumenep, Madura, ini menceritakan ikhwal temannya, Muhammad Nadir (22), asal Pasuruan, Jatim, di Kamp "The Eagle". Selain dipaksa berbahasa Inggris, para penghuni kamp, sebutan rumah kos, itu memanggil satu sama lain dengan sebutan mister. Nadir adalah satu dari ribuan orang dari berbagai penjuru Tanah Air yang sedang berjuang keras belajar Bahasa Inggris di Pare. Selain itu, ada Irwanto (22), asal Indramyu, Jawa Barat. Keduanya adalah pemuda yang ulet dalam belajar bahasa asing, meskipun sama-sama dalam keterbatasan ekonomi. Perjuangan Nadir untuk bisa kursus di Pare dimulai ketika ia kuliah Bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Pasuruan pada 2010, selepas SMA. Untuk biaya hidup, ia menyambi bekerja sebagai penjaga warnet dari pukul 16.00 sore hingga pukul 04.00 dini hari. Paginya kuliah. Namun saat itu, ia merasa kesulitan mengikuti mata kuliah di jurusan yang sangat diidam-idamkannya itu. Saat itu ia hanya bertahan dua bulan. "Saya waktu itu betul-betul kesulitan mengikuti perkuliahan Bahasa Inggris di kampus," ungkapnya. Terpikirlah Pare yang didengarnya dari seorang teman. Karena sadar orang tuanya, Toha (50), yang hanya buruh bangunan dan kini berhenti bekerja karena tangan kanannya tidak bisa digerakkan untuk mengangkat barang, ia harus mencari uang sendiri. Toha mengalami kecelakaan, sehingga tidak bisa bekerja. Nadir memutuskan untuk pergi ke Maluku menemui salah satu keluarganya. Di Namlea, Maluku, ia bekerja selama tujuh bulan menjadi buruh di kebun cokelat. Selepas dari kebun, dia juga berjualan baju di pasar. Pekerjaan beratnya tidak sia-sia. Ia berhasil mengumpulkan uang Rp10 juta. Dengan bekal itu, ia memutuskan pulang ke Pasuruan. Pikirannya langsung tertuju ke Pare kembali. Keinginan seringkali tidak mudah diraih. Sampai di Pare, ia ternyata terlambat mendaftar. Nadir pun kecewa. Ia pulang dengan menyusun rencana baru. Dipilihlah bekerja di pabrik. Sebagian uang hasil kerjanya di Namlea, ia belikan sepeda motor butut untuk transportasi dari rumah ke tempat kerja. Tidak terlalu banyak uang yang dihasilkan dari pabrik, namun Nadir merasa cukup memiliki bekal. Pada pertengahan 2012, ia kembali ke Pare dan ikut kursus Bahasa Inggris dasar. Ia berniat mengikuti kursus tuntas selama sembilan bulan. Dengan bekal ilmu itu ia ingin bisa mengajar Bahasa Inggris. Saat itu ia memegang uang Rp9 juta dari hasil keringatnya. Ia berpikir Rp1 juta tiap bulan untuk biaya makan, kos dan kursus akan cukup. "Ternyata tidak cukup karena ada keperluan lain juga di rumah. Maka saya harus mengurangi biaya hidup. Untuk biaya kursus dan kos kan tak mungkin dikurangi. Maka satu-satunya jalan mengurangi biaya makan," kata lelaki murah senyum yang kini tengah berbunga-bunga karena dinyatakan lulus dengan seleksi ketat untuk mengikuti kursus program "Mastering System" (MS) di "Basic English Course" (BEC). BEC adalah lembaga kursus milik Muhammad Kalend, perintis pertama kursus Bahasa Inggris di Pare. Di tempat Mister Kalend, begitu ia biasa disapa, kursus dijalankan secara bertahap, mulai dari dasar hingga paling tinggi program MS. Karena menjaga kualitas, yang diterima di program terakhir itu terbatas sekitar 60 siswa setiap tahun. Padahal yang berminat ratusan orang. Jatuh sakit Nadir memutuskan untuk makan hanya sekali dalam sehari dan pada hari-hari sunah ia berpuasa. Awalnya terasa berat. Tapi ia tidak ingin cita-citanya putus di tengah jalan. Bukan hanya menahan perut melilit, tapi ia juga sempat jatuh sakit. Seminggu lebih ia harus berbaring di kamar kosnya sebelum bergabung di BEC. Kini badannya juga menjadi ceking. "Saya memilih makan di atas jam 9 malam karena lebih nyaman. Kalau makan pagi ternyata terasa cepat lapar karena siang banyak aktivitas di tempat kursus," ujar anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Toha dengan Saro ini. Ia membatasi uang makan sekali itu maksimal Rp4.000. Kalau terpaksa siang merasa sangat lapar, ia membeli gorengan singkong dua potong seharga Rp1.000. Karena itu, malamnya ia harus makan nasi dengan porsi hanya Rp3.000. Untunglah di Pare masih banyak warung nasi yang menyediakan hidangan sangat murah. Tak tampak gurat sedih di wajah lelaki berambut lurus ini saat menceritakan kepedihan hidupnya. Bahkan sesekali, anak muda "pejuang ilmu" ini justru menampakkan gigi-gigi putihnya. Ia menampakkan ketegarannya. Padahal sudah enam bulan ia melakoni makan hanya sekali sehari itu. Sementara program kursus di MS harus ia jalani tiga bulan lagi. "Mudah-mudahan setelah lulus program MS, saya bisa lebih mudah mencari uang untuk biaya kuliah nanti," kata lelaki yang bercita-cita ingin kuliah di Universitas Negeri Malang (UM) tersebut. Kondisi orang tua yang miskin membuat semangat Nadir menyala-nyala untuk meraih masa depan yang lebih baik. Dengan segala upaya ia akan kuliah dan kemudian memiliki penghasilan besar untuk membahagiakan orang tuanya. Selain itu, ia ingin menjadi sebaik-baik umat, yakni yang banyak bermanfaat bagi orang lain. Ia mengakui bahwa dirinya tidak berotak cermelang, sehingga tidak mudah saat awal mengikuti kursus Bahasa Inggris. Tapi berbekal tekad, maka tidak ada yang tidak mungkin. Arifin yang kepergiannya pulang ke Madura ditangisi oleh Nadir adalah saksi keuletan anak muda Pasuruan itu. "Dulu sebelum menguasai betul materi kursus, Mister Nadir itu jarang tidur juga. Kemana-mana yang dibawa buku sambil menghafal kata dan kalimat," ucap Arifin. Sementara Irwanto (22), asal Indramayu, Jawa Barat, juga memiliki cerita hidup yang tidak berbeda dengan Nadir. Ia datang ke Pare juga dengan perjuangan. Ia mengumpulkan rupiah demi rupiah lewat aktivitasnya memberi les di Bandung. Bahkan di Pare ia sempat berjualan es tebu di sela-sela padatnya kursus. Mesin penggiling dan tebu dipasok oleh temannya sesama peserta kursus yang sudah berusia 40 tahun dan berpengalaman berbisnis. "Saya berjualan es tebu di dekat tempat kos. Tenda itu milik penjual makanan kalau malam hari dan siangnya saya pakai. Saya yang menjalankan usaha itu dengan sistem bagi hasil 60 persen untuk saya dan 40 persen untuk pemilik modal," katanya memaparkan. Irwanto mengaku senang dengan pekerjaan itu, meskipun tidak ada waktu santai di Pare. Tapi tidak ada bisnis yang instan. Ternyata es tebu itu tidak begitu laku. Bahkan stok tebu banyak yang mengering. "Karena tidak enak dengan pemilik modal, saya akhirnya memutuskan menutup usaha itu. Saya sadar bahwa berbisnis itu memang butuh waktu lama, sedangkan waktu saya di Pare sebentar. Persediaan bekal saya juga sudah menipis. Dengan terpaksa saya putuskan untuk pulang ke Bandung mengumpulkan biaya karena saya juga harus membantu adik saya yang saya ajak ke Pare. Biarlah adik saya di Pare barang setahun sebelum nantinya saya kuliahkan," ujarnya. Ia membulatkan tekad ke Bandung meneruskan pekerjaan lama. Melihat banyaknya brosur katering di Pare, ia berpikir untuk mengembangkan usaha itu di Bandung dengan mengajak para ibu kenalannya memasak. Katering di Bandung sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa baru. Selain itu, ia juga akan mencari informasi untuk kuliah S2. Ia sadar sepenuhnya bahwa untuk melanjutkan ke S2 itu jauh di luar akalnya untuk mendapatkan biaya. Hanya satu yang ia pegang bahwa Tuhan pasti membukakan jalan untuk itu. Irwanto yang lahir dan besar di Desa Kedung Wungu, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, sudah terbiasa menderita. Ayahnya Syahidin dulunya hanya buruh tani dan tukang becak, sedangkan ibunya tidak bekerja. Desa Irwanto masih tergolong belum maju. Bahkan listrik baru masuk ke desa yang jaraknya sekitar 30 Km dari Kota Indramayu itu pada tahun 2000-an. Anak kedua dari tiga bersaudara itu memiliki "bekal istimewa" dari ibunya sehingga tidak mudah menyerah pada keadaan. "Waktu ibu mengandung saya, beliau bermimpi melihat dua matahari. Lama-lama matahari itu menjadi satu. Menurut ibu, mimpi itu sangat bagus untuk masa depan saya kelak. Saya pegang terus keyakinan ibu itu karena menjadi doa," kata sarjana Manajemen Dakwah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung ini. Nasi aking Kesedihan dan kemelaratan adalah bagian dari hidup Irwanto. Suatu ketika ia masih ingat peristiwa yang membuatnya terharu karena tidak tega dengan ibunya. Setiap mengingat peristiwa itu ia selalu ingin menangis. "Suatu ketika bapak saya belum datang menarik becak dari Cirebon. Karena ibu tidak memegang uang sementara kami belum makan, ibu memasak nasi aking dari nasi bekas yang sudah dikeringkan. Bukan nasi akingnya, tapi saya melihat wajah ibu yang sepertinya tidak tega menyuguhi anak-anaknya dengan nasi itu. Ah, saya jadi ingin menangis," kata lelaki murah senyum ini. Bukan satu dua kali peristiwa itu terjadi. Tapi semua itu membuat Anto, panggilan Irwanto menjadi kuat. Ketika kuliah ia juga mencari biaya hidup sendiri dengan mengajari ngaji anak-anak. Ia bersyukur juga mendapat beasiswa. Saat mengajar ngaji, ia harus berjalan jauh ke rumah murid-muridnya itu. Suatu hari ada orang tua muridnya yang rupanya tidak tega dan membelikannya sepeda pancal. Dengan sepeda itu, pergerakannya menjadi lebih cepat dan tidak membuatnya terlalu capai. Ia juga biasa berjualan celana pendek di sela-sela kuliah dan mengajar ngaji. Bahkan ia pernah ikut bisnis "multi level marketing" (MLM). Meskipun tidak membawa untung apa-apa, namun bisnis MLM memberinya bekal hidup untuk percaya diri berbicara di depan umum. "Waktu itu saya semester pertama. Setiap bertemu mahasiswa berkelompok, saya datangi. Saya presentasi. Itu saya lakukan sampai malam. Bahkan pernah saya presentasi ke dosen. Tapi dari itu saya kemudian kenal dosen tersebut yang kemudian menjadi keluarga saya. Kalau tidak ikut MLM itu, mungkin saya tidak akan percaya diri tampil di depan umum," ujarnya. Mengenai Kampung Inggris, ia sudah mendengar sejak kelas 2 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. Waktu itu setiap tahun sekolah tersebut secara berombongan memberangkatkan siswanya ke Pare. "Saya hanya bisa berkhayal karena tidak punya uang. Tapi Allah mendengar keinginan saya, hingga tiga tahun kemudian saya bisa juga ke Pare dengan biaya sendiri," ucapnya, lirih. Demikian juga ketika teman-temannya waktu kelas 3 akhir, banyak yang konsultasi ke guru BK untuk rencana kuliah. Anto tidak berani untuk itu. Namun diam-diam ia tetap mencari informasi ke teman-teman lainnya tentang perguruan tinggi negeri di Bandung. Ia sangat sedih bagitu tahu biaya yang harus dikeluarkan untuk itu mencapai puluhan juta. Ia membayangkan orang tuanya pasti keberatan, sementara untuk mencari uang sendiri, belum mendapat bayangan. Sampai akhirnya ada kakak kelasnya yang menghubungi dia dan menawari kuliah di UIN yang biayanya lebih murah. Ia berembuk dengan orang tuanya dan mereka setuju karena waktu itu biaya awal hanya satu jutaan. "Mendapat restu seperti itu saya sudah sangat senang. Dalam hati saya bertekad untuk tidak memberatkan orang ketika di Bandung," ujarnya. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia tekun belajar dan hasilnya hampir seluruh mata kuliah mendapat nilai A, kecuali Bahasa Inggris yang sejak dari MAN tidak disukainya. Di daftar hasil studi, pelajaran Bahasa Inggrisnya selalu mendapat C. Meskipun demikian, ia mengaku bersyukur karena dari teman-teman seangkatannya hanya dia yang lulus dalam waktu 3,5 tahun. Sebelum lulus, ia memiliki kesempatan kursus Bahasa Inggris ke Pare. Ia berangkat pada 2011 dengan mengambil program lengkap selama dua bulan. Programnya sangat padat karena masuk lima kali dalam sehari. "Rasanya berat karena harus menghafalkan rumus 'tenses' dan kosa kata. Kepala rasanya panas. Tapi alhamdulillah banyak hasilnya. Saya merasa banyak perkembangan. Hasilnya sangat nyata ketika mata kuliah Bahasa Inggris yang sebelumnya selalu mendapat nilai C, setelah itu menjadi A," katanya, tersenyum. Setelah lulus kuliah, ia sangat ingin bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri. Maka setelah mengumpulkan uang, ia kembali ke Pare pada awal April 2013. Beberapa waktu kemudian, ia mengajak adiknya, Aris yang baru lulus SMA ke Pare. Pada kepergiannya yang kedua ke Pare, Anto tidak mampu menyelesaikan kursus sesuai rencana karena uangnya yang menipis. Ia mengalah demi adiknya yang harus dibiayai untuk menetap di Pare. Kini Irwanto sedang berjuang untuk ladang yang baru demi mewujudkan cita-citanya menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013