Oleh Iim Fahmi Ilman *)
Di suatu sore bulan Februari, saya mendampingi anak-anak menonton televisi. Dan seperti biasa, anak-anak saya memilih saluran televisi khusus kartun yang kebetulan menayangkan film SpongeBob Square Pants. Episode yang ditayangkan saat itu adalah kala SpongeBob menjadi wartawan harian The Krabby Kronicle. SpongeBob yang biasanya menjadi koki mendadak harus menjadi wartawan atas perintah Boss-nya yang mata duitan (baca kapitalis tulen), Mr. Crab.
Kisahnya berawal saat Mr. Crab mengendus dolar dari sebuah usaha media massa, tepatnya media cetak yakni koran, maka SpongeBob --sang koki-- itupun ditunjuk sebagai wartawan. SpongeBob, si lugu yang tidak pernah belajar jurnalistik kontan bingung bagaimana harus mencari, mengolah, dan menuliskan berita. Begitu bingungnya SpongeBob sampai sebuah peristiwa perampokan justru terlewatkan olehnya.
Akibatnya koran The Krabby Kronicle tak laku karena beritanya tidak menarik bagi warga Bikini Bottom. Mr. Crab yang ogah rugi kemudian menyarankan SpongeBob agar menuliskan berita-berita yang unik dan sensasional, bahkan bombastis mengenai orang-orang dan kehidupan di Bikini Bottom, jika perlu beritanya "diolah" sedemikian rupa dengan "imajinasi" agar disukai pembaca.
SpongeBob pun tanggap, dicarinya peristiwa-peristiwa keseharian di Bikini Bottom untuk kemudian ditulisnya dengan ditambahi "imajinasi" darinya sendiri. Larry Lobster yang kekar dikatakan roboh dipukul anak kecil, Plankton pemilik restoran saingan Mr. Crab diberitakan menggunakan bahan yang tak layak dalam masakannya, bahkan Sandy --kawan akrab SpongeBob-- ditulisnya sebagai ilmuwan gadungan. Pembaca warga Bikini Bottom ternyata banyak yang suka dengan berita di Krabby Kronicle, tentu saja tidak dengan mereka yang merasa dirugikan.
Gara-gara berita tulisan SpongeBob, The Krabby Kronicle laku keras. Dolar pun mengalir ke kantong Mr. Crab. Tapi akibatnya satu persatu tokoh yang diberitakan dalam koran tadi protes karena beritanya tidak benar. SpongeBob dihadapkan pada sebuah dilema, tetap menulis berita yang sensasional sesuai arahan sang Boss atau menuruti nuraninya yang ingin berhenti dari segala kepalsuan yang dituliskannya.
Untungnya, SpongeBob segera sadar. Dia kemudian memutuskan menghentikan kegilaan ini. Lantas bagaimana caranya ? SpongeBob punya cara sendiri, ditulisnya kisah di balik The Krabby Kronicle, termasuk fakta bahwa SpongeBob sendiri dipaksa bekerja dengan gaji minim. Berita di The Krabby Kronicle ini membuat warga Bikini Bottom sadar akan apa yang sebenarnya terjadi di media massa cetak di kota mereka.
Mereka pun berbondong-bondong protes kepada Mr. Crab, menuntut kondisi ini diakhiri. Mereka ingin The Krabby Kronicle ditutup saja karena banyak merugikan warga Bikini Bottom. Mendapatkan protes keras, Mr. Crab ternyata keder juga, ia pun memutuskan menutup The Krabby Kronicle dan kembali berkonsentrasi dengan restorannya, Krusty Krab. SpongeBob pun kembali ke profesi sebagai koki. Cerita pun berakhir happy ending.
Mendadak, saya seperti tersadar jika film kartun SpongeBob yang biasa dikomsumsi oleh anak-anak ini sebenarnya menjadi cermin bagi kehidupan pers kita saat ini. Begitu Reformasi berjalan, maka kita mendapati kehidupan pers Indonesia menjadi semarak dengan munculnya koran baru, radio baru, stasiun televisi baru dan situs berita baru, baik di skala nasional maupun daerah. Ada yang muncul dengan semangat luhur memberikan pencerahan bagi masyarakat Indonesia maupun yang memang mencari untung. Bahkan dalam perjalanannya, media massa menjadi alat bagi segelintir orang untuk menyukseskan ambisi politiknya.
Bertambahnya jumlah media massa otomatis bertambah pula jumlah wartawan/jurnalis/reporternya. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan bekal ilmu jurnalistik yang relevan dan semangat profesionalitas sang wartawan. Akibatnya kita bisa menyaksikan ada wartawan CNN (Cuman Nanya-Nanya), Muntaber (Muncul Tanpa Berita) dan istilah lainnya.
Gabungan antara media massa yang dibangun tanpa perhitungan matang dan hanya bertujuan mencari untung, dengan wartawan yang tidak profesional tadi membuat banyak media massa berusaha dengan segala cara agar tetap hidup. Salah satunya dengan memuat berita yang sensasional mirip yang dilakukan The Krabby Kronicle tadi. Ada juga yang menjadi media massa pesanan, beritanya tergantung dari pesanan siapa yang bayar, hidup dari advertorial atau iklan ucapan selamat.
Wartawan/jurnalis/reporter yang bekerja di media massa beneran pun bukannya tidak memiliki masalah. Hukum alam persaingan antar-media massa juga terjadi, ada media massa yang akhirnya harus tutup. Entah karena kalah bersaing atau dilibas badai teknologi informasi yang cepat sekali berkembang. Mau tidak mau perjuangan hidup harus dilakukan, efisiensi di segala bidang mutlak dijalankan. Celakanya salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menekan gaji wartawan/jurnalis/reporter. Persis seperti SpongeBob saat bekerja di The Krabby Kronicle.
Tidak hanya itu saja, wartawan kemudian diberi tugas tambahan selain mencari dan menulis berita, yakni menawarkan ruang iklan dan advertorial di media massa tempat bekerjanya. Akibatnya ada wartawan yang lebih sibuk menawarkan ruang iklan dan kesempatan advertorial daripada mencari berita. Memang dalam kadar tertentu langkah ini boleh-boleh saja, tapi tentu saja lebih elok dan profesional jika wartawan fokus untuk bertugas mencari dan menulis berita saja. Urusan mencari iklan dan sebagainya adalah urusan bagian iklan dan pemasaran saja. Tentu saja kondisi ideal ini baru berjalan pada media massa yang sudah mapan.
Kawan-kawan di media massa elektronik khususnya televisi pun mengalami dilema. Media televisi yang menitikberatkan kepada kecepatan penyajian berita membutuhkan banyak kru agar dapat meng-cover area liputan yang luas. Tapi lantas uang untuk menggajinya darimana ? Kemudian muncul profesi kontributor yang kerja jurnalistiknya baru mendapatkan honorarium jika beritanya naik tayang di layar gelas.
Maka tidak heran jika ada kontributor yang berusaha mencari berita yang "heboh" atau "menggemparkan" seperti demonstrasi atau maling digebuki massa dibandingkan dengan kabar-kabar prestasi yang lebih adem ayem. Bahkan kadang rekaman beritanya dikirimkan ke beberapa stasiun televisi dengan sedikit angle yang berbeda sehingga pemirsa mendapati berita yang mirip-mirip dari satu stasiun televisi dengan stasiun lainnya. Langkah ini ditempuh sebab jika rekaman peristiwa tadi ditolak oleh stasiun televisi, maka hilanglah sudah modal meliput dan mengirimkan berita karena honorarium takkan diterima.
Awak media protes ? Nanti dulu, walaupun mereka bagian penting dari sebuah media massa bukan lantas berarti mereka memiliki kuasa. Ternyata pemilik modal masih lebih berkuasa, mirip-mirip Mr. Crab. Jika awak media protes atau bahkan demonstrasi, alamat dikeluarkan dari pekerjaan. Sebab walau sudah ada berbagai macam organisasi wartawan/jurnalis, tapi toh jika urusannya menyangkut duit ternyata bagai menghadapi tembok besar. Maka tak heran jika ada kontradiksi besar, wartawan sering memberitakan upah buruh yang minim, tapi berita mengenai upah wartawan yang di bawah Upah Minimum Regional (UMR) malah jarang muncul.
Ada pula pemilik modal yang berkuasa mengarahkan langgam irama berita yang muncul, lebih-lebih jika sang empunya berhasrat masuk ke dunia politik. Jangan harap berita negatif tentangnya bakal ada di media yang dia miliki. Pendek kata, berseberangan dengan maksud pemilik modal adalah haram dalam berbagai hal. Beberapa waktu lalu kita melihat seorang jurnalis televisi yang dipecat perusahaannya gara-gara berselisih dengan manajemen dimana dia bekerja.
Salah satu yang disuarakan oleh awak media adalah tuntutan untuk berserikat. Sekali lagi kontradiksi terjadi, begitu banyak berita mengenai dibungkamnya hak berserikat para buruh di media massa. Tetapi mana berita mengenai gagalnya awak media berserikat ? Kalau pun ada porsinya minim, lebih tidak mungkin jika mengharapkan para awak media yang gagal membentuk serikat pekerja tadi, kemudian akan memberitakan kasus ini di media massa tempat dia bekerja.
(Mirip, teriak demokrasi tapi tak menjalankan praktik demokrasi, meski ada juga yang bilang wartawan itu bukan buruh, tapi profesi).
Tetapi masyarakat kita juga memiliki peran mirip seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bikini Bottom. Banyak di antara kita yang lebih suka dengan berita-berita sensasional, tayangan acara kekerasan atau gosip, baik mengenai artis atau pesohor lainnya. Maka media massa kemudian mau tidak mau juga mulai menuruti selera audiens-nya, lantas rating menjadi pedoman untuk membuat acara.
Belum lagi sikap beberapa elemen masyarakat kita yang kemudian main hakim sendiri saat mendapati berita di media massa dianggap tidak sesuai dengan kenyataan. Kemudian berbondong-bondong berdemo memprotes berita tersebut di kantor media massa. Persis sama dengan warga Bikini Bottom yang mendemo The Krabby Kronicle dan Mr. Crab. Bahkan ada juga yang bersikap layaknya preman dalam memperlakukan para jurnalis saat bertugas. Jika berita di sebuah media massa dianggap merugikan dirinya/organisasinya, maka jalan ke pengadilan yang ditempuh, apalagi jika berduit karena bisa membayar pengacara.
Saya jadi berandai-andai, bagaimana jika awak media mencontoh solusi SpongeBob ? Menuliskan atau menayangkan ketidakadilan yang diterima di tempatnya bekerja, sehingga masyarakat Indonesia bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam media massa kita. Tentu saja akan ada "shock therapy" bagi media massa sendiri dan masyarakat kita. Mungkin malah heboh. Tapi sekali lagi ini hanya angan-angan saja yang kemudian hilang seiring habisnya film "SpongeBob Square Pants" di layar televisi. Selamat Hari Pers Nasional !. (*)
--------
*) Staf Humas dan Protokol Universitas Jember.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013